Relung-Relung Resah

Pikiran pukul satu malam menjelma menjadi tanda tanya paling jenaka. Kekusutan pikiran yang tak tentu arah tidak bisa terbendung menjadi tetesan air di pelupuk mata. Gak jarang air mata berjatuhan tanpa tau untuk apa kesedihan ini. Atau, untuk siapa air mata ini. Padahal malam seharusnya jadi tempat paling nyaman untuk bersyukur, bukan menyesal.

Bising dalam kepala membuat bingung dan kewalahan. Mendadak memuncak, seperti ingin keluar dari kepala sendiri. Kumpulan tanya memaksa untuk dicari jawabannya. Kulit-kulit resah ingin segera dikupas. Rasanya kayak permen nano-nano. Bingung mau ngerasain yang mana dulu, kalau semuanya datang di saat yang bersamaan. Tapi dipikir-pikir, kita itu kayak anak kecil. Disuruh ngerasain semua hal diawal, baru nentuin pilihannya diakhir.

Kadang, kangen juga ada di masa itu. Masih bisa ngelakuin semua hal tanpa mikirin resiko yang mungkin ada. Tarik lagi memori di minggu pagi. Mandi lebih awal. Duduk manis di depan tv. Suka senyum-senyum sendiri kalau kartun kesukaan udah mau mulai. Apalagi sambil disuapin sama mama. Enggak pernah ngerasa beban kalau besok ternyata udah hari senin aja.

Betapa lucunya memang kalau lagi diingatkan sama memori masa lalu yang kadang lucu, kadang juga sedih. Kadang, yang dulunya sedih juga malah bisa jadi bahan tertawaan sekarang. Kalau dulu orang tua sering kekang kita ngelakuin hal yang dimau, sekarang udah waktunya kita pilih jalan sendiri. Belajar untuk mulai melepaskan ketergantungan pilihan orang tua.

Paham kok kalau niat mereka itu baik. Tapi ga semua niat baik itu hasilnya juga baik. Kadang malah jadi serba salah waktu ikutin kata mereka yang justru berlawanan sama kata hati. Mau ngebantah tapi takut dibilang durhaka. Mau bicara jujur, takut buat kecewa. Mau tetap ikutin tapi malah jadi setengah hati. Jadi merasa gak layak sebagai anak. Sampai ngerasa gak berguna. Serba salah karena ngerasa semuanya gak diapresiasi.

Ngerti kalau orang tua juga punya ego. Ngerti kalau mereka pernah punya mimpi yang belum sempat dicapai. Mimpi yang sekarang mungkin dibebankan ke anak. Ketakutan jadi penghalang untuk bicara jujur dari lubuk hati paling dalam. Khawatir kejujuran berubah jadi amarah dan rasa kecewa karena didikannya ditolak atau dipertanyakan.

Anak juga punya mimpi dan ingin yang dipelihara sejak lama. Mimpi-mimpi yang kadang cuma bisa dipendam sendiri tanpa bisa diungkapin. Takut dapet penolakan karena bertentangan dari inginnya mereka. Kalau anak sembunyikan banyak hal, gak pernah mau cerita, mungkin karena orang tua belum bisa jadi telinga yang nyaman. Rumah belum bisa jadi tempat paling aman untuk berteduh dari hujan masalah. Saat anak sedih, ia hanya ingin dipeluk dan didengarkan. Bukan dimarahi dan diceramahi habis-habisan. Lalu dihakimi.

Mari saling jaga. Mari saling merawat rumah agar tetap asri. Mari kerjasama beres-beres rumah. Agar semua yang tinggal didalamnya ringan langkah untuk pulang. Dan bahagia jadi alasan satu-satunya untuk dibawa pulang bersama. Menuju bahagia lain yang dicipta bersama.

Skripsi di Masa Pandemi, Sulitkah?

Pandemi Covid-19 atau yang sering disebut sebagai virus corona memang memiliki dampak yang sangat negatif terhadap keseluruhan aspek kehidupan manusia. Ekonomi, sosial, pendidikan, hingga keagamaan menjadi aspek-aspek yang terdampak wabah tersebut. Seluruh perhatian saat ini tentu tertuju pada roda perputaran ekonomi yang rentan mengalami kemunduran. Pasalnya, pemerintah memutuskan untuk merumahkan seluruh warganya dari segala bentuk kegiatan. Termasuk mereka-mereka yang bekerja di perkantoran. Tentu hal tersebut memicu adanya kekhawatiran akan kondisi ekonomi negeri ini.

Ditengah kekhawatiran akan isu krisis ekonomi, terdapat permasalahan lain di sektor pendidikan. Seperti yang diketahui bersama, seluruh kegiatan harus dilakukan dirumah. Bekerja, beribadah, sampai pendidikan pun harus dilaksanakan dengan berpangku tangan pada kemajuan teknologi. Salah satu contoh nyata adalah para mahasiswa yang harus setiap hari berkutat dengan layar gadget mereka demi memperoleh pendidikan yang selayaknya.

Meski kemajuan teknologi seakan memudahkan proses pembelajaran, hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi mahasiswa tingkat akhir. Pasalnya, mereka merasa kesulitan saat harus menyelesaikan skripsi ditengah wabah pandemi ini. Kesulitan untuk berkomunikasi dengan dosen pembimbing yang hanya saling bertukar pikiran melalui media sosial seperti whatsapp, google meet, zoom, atau email. Tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Bagi sebagian mahasiswa, mengerjakan skripsi disertai bimbingan secara offline saja sudah sulit. Apalagi ketika harus dihadapkan pada situasi menulis dan berdiskusi secara online.

Meski wabah pandemi ini menyulitkan mahasiswa untuk menyesaikan skripsi, ternyata banyak dari mereka yang bisa tetap teguh untuk sampai pada garis akhir. Ya, pandemi bukanlah halangan yang mengharuskan mereka untuk ‘menyerah’. Justru, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang berkeinginan untuk terus maju dan berjuang. Karena bagaimanapun, selalu ada kemudahan diatas semua kesulitan, seperti cerita yang dibagikan oleh para pejuang skripsi berikut ini.

Fira Rahmani Putri (Psikologi, UNJ)

Kak Fira merupakan mahasiswi jurusan Psikologi yang berkuliah di salah satu kampus negeri bergengsi, Universitas Negeri Jakarta. Ia telah berhasil menyelesaikan studi pendidikan Strata 1 dengan jenjang waktu yang tepat, yaitu 4 tahun. Hal tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa, mengingat ia bisa menyelesaikan skripsinya di tengah wabah pandemi Covid-19 ini. Pengalaman yang luar biasa tentunya untuk bisa berjuang melawan rasa malas dan stres karena harus melakukan semuanya secara online.

“Rasanya ngerjain skripsi di masa pandemi ini tuh campur aduk. Senang, sedih, galau, dan bingung semuanya ada. Apalagi semua dilakuin serba online. Mulai dari ambil data sampai diskusi sama dosen pembimbing, semuanya harus dilakukan secara virtual.” ucap kak Fira saat ditanya bagaimana perasaannya mengerjakan skripsi di masa pandemi ini.

Dibalik kesulitan pasti selalu ada jalan keluar yang didapat. Kak Fira sendiri dalam mengatasi kesulitan tersebut menyikapinya dengan banyak berdiskusi, baik diskusi bersama dosen atau teman yang dianggap ‘mampu’. Jika sudah merasa buntu, maka memberi penghargaan pada diri sendiri seperti bersantai sambil minum kopi juga layak diikutsertakan menjadi sebuah solusi.

Meskipun kak Fira merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan situasi seperti ini, ia tidak patah semangat dan mau untuk terus berjuang. Motivasi dari orang tua menjadi satu hal yang bisa membuatnya teguh dan sabar sampai bisa selesai.

“Yang bisa memotivasi aku ngerjain skripsi ini tentu orang-orang di sekitar, terutama orang tua. Karena bagaimanapun, aku ingin liat orang tua bahagia sama pencapaian aku. Perjuangan aku ngerjain skripsi selama ini belum sebanding sama perjuangan mereka membesarkan dan mendidik aku sampai bisa mengenyam pendidikan tinggi. Jadi, aku terus berusaha dan mempersembahkan ini semua untuk orang tua.”

Larasati Novia Andini (Akuntansi, Universitas Bhayangkara)

Cerita yang hampir serupa juga dialami oleh Kak Laras, mahasiswi Akuntansi di Universitas Bhayangkara. Bimbingan yang harus dilakukan secara online melalui email kadang membuatnya merasa kesulitan untuk bisa benar-benar paham.

“Selama ngerjain skripsi ini, perasaan aku udah gak karuan. Capek, stres, bahkan sampai pernah sakit juga. Kadang, kalau bimbingan sama dosen itu suka bingung sendiri cara pahamin maksud dari dosennya itu gimana. Karena memang kita kan engga bisa diskusi tatap muka. Jadi extra kerja keras untuk bisa paham.”

Tapi, Kak Laras masih tetap semangat selesain skripsinya sampai bisa sidang dengan lancar. Walaupun sidangnya dilakukan secara online, tapi semuanya berjalan sesuai harapan. Itu semua berkat usaha dan doa juga dari orang tua. Karena buat Kak Laras, bisa lihat senyum orang tua aja sudah jadi satu kebanggaan tersendiri. Apalagi kalau bisa lihat anaknya di wisuda nanti.

“Orang tua selalu jadi motivasi aku banget selama ngerjain skripsi ini. Aku pengen aja gitu ngeliat mereka seneng. Aku pengen liat mereka senyum bahagia anaknya bisa wisuda. Aku juga pengen bisa cepet dapet kerja dan bahagian mereka lebih jauh lagi.”

Mutia Nurul Alifa (Pendidikan Bahasa Inggris, UHAMKA)

Ada cerita lain dari Kak Mutia, mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Kak Mutia berbagi banyak hal tentang bagaimana ia bisa selesaikan skripsi tepat waktu di masa pandemi ini.

“Sebenarnya, ngerjain skripsi di masa pandemi ini tuh rasanya susah banget. Harus pinter muter otak gimana caranya ambil data, bimbingan online, dan lain sebagainya. Sampai kadang perasaan tuh campur aduk, kadang stres, galau, kadang capek sendiri sama situasi yang kayak gini.” ucap Kak Mutia.

Tentu itu adalah kesulitan yang mungkin dirasakan oleh sebagian besar mahasiswa tingkat akhir saat ini. Terlebih, Kak Mutia ini juga aktif berkecimpung di organisasi tingkat fakultas. Tentu, waktu untuk mengerjakan skripsinya semakin terbatas dengan kesibukan di luar perkuliahan. Meski kerap kali disibukkan oleh waktu yang sempit, Kak Mutia tidak menganggap itu sebagai sebuah batasan untuk meraih tujuan yang ingin dicapai. Justru kesulitan tersebut dianggap sebagai sebuah tantangan yang harus bisa dihadapi dengan baik.

“Selalu tanamkan pemikiran-pemikiran positif dan tanamkan dalam diri sendiri kalau skripsi ini tuh bisa selesai. Kalau kita udah memulainya dengan baik, pasti bisa juga diakhiri dengan baik. Tinggal gimana kita mau berusaha untuk percaya sama diri sendiri. Percaya kalau kita itu sebenarnya bisa.”

Kadang diskusi juga bisa jadi jalan keluar dari kesulitan tersebut. Berbagi cerita dengan teman seperjuangan lainnya supaya bisa dapat hal baru yang mungkin bisa nambah energi semangat dalam diri. Atau, sering berdiskusi dan berbagi pengalaman bersama adik-adik tingkat seperti yang sering Kak Mutia lakukan.

“Setelah bisa lewatin itu semua, perasaan aku tuh bangga banget. Bisa selesai tepat waktu, apalagi di masa pandemi corona ini. Banyak juga orang-orang di sekitar yang selalu kasih motivasi. Teman, dosen, dan orang tua jadi dorongan semangat aku untuk ngerjain skripsi sampai selesai.”

Kak Mutia selalu menanamkan prinsip pantang menyerah, tetap semangat dan tidak berlarut dalam rasa malas. Karena bagaimanapun, skripsi itu bisa selesai. Dan pandemi ini bukan alasan untuk bermalas-malasan dan mengendurkan semangat untuk bisa menyelesaikan tanggung jawab. Tinggal bagaimana kita rajin berdoa dan berusaha untuk bisa sampai ke titik itu.

Pramesthi Khairunnisa Aulia (Pendidikan Bahasa Inggris, UHAMKA)

Kak Prames, mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka ini akan menjadi yang terakhir membagikan ceritanya semasa mengerjakan skripsi. Bagi Kak Prames, mengerjakan skripsi di masa pandemi ini bukanlah hal yang dia inginkan. Apalagi ia berasal dari salah satu jurusan yang ‘katanya’ sulit untuk selesai tepat waktu. Hal tersebut sempat membuatnya merasa kurang percaya diri.

“Sebenernya ngerjain skripsi di masa pandemi ini tuh males banget. Kadang ngantuk, capek, stres semuanya numpuk jadi satu. Ditambah aku yang juga sibuk sama kegiatan organisasi di tingkat universitas. Pegang bagian keuangan pula. Stres banget pasti kalau sambil ngerjain skripsi.”

Meskipun Kak Prames ini juga disibukkan dengan urusan organisasi, ia selalu menyisihan waktu untuk mengerjakan skripsinya.

“Aku kalau udah bawannya males tuh ya pengennya ga sibuk ngerjain apapun gitu. Tapi kalau terus-terusan ikutin rasa males, skripsinya juga ga akan selesai. Kadang suka nanya sama diri sendiri, mau sampai kapan kayak gini terus? kapan bisa selesainya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang justru bikin aku sadar kalau skripsi bisa diselesaikan meski sesulit apapun itu.”

Jadi diri sendiri dan selalu percaya sama potensi yang dimiliki jadi motivasi tersendiri untuk Kak Prames bisa selesaikan skripsinya. Karena, kalau bukan diawali sama kemauan dari diri sendiri, sampai kapanpun gak akan selesai.

“Pokoknya motivasi aku selama ini hanya bermodal yakinin diri sendiri kalau aku tuh sebenernya bisa. Dan selalu berprinsip untuk meyelesaikan sesuatu yang sudah dimulai. Walaupun kadang harus pinter-pinter bagi waktu antara urusan kuliah dan organisasi.”

Tentu, banyak pembelajaran dan pengalaman berharga yang bisa didapat dari kakak-kakak hebat ini. Mereka berani menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulai dengan baik. Selalu percaya sama semua proses yang ada. Dan percaya juga sama potensi diri sendiri. Kak Fira, Kak Laras, Kak Mutia, dan Kak Prames adalah sebagian kecil dari mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya.

Meski pandemi ini memang membuat kita semua mengalami kesulitan, tapi bukan berarti kita harus menyerah akan keadaan. Mereka sudah membuktikan bahwa pandemi ini bukanlah hal yang harus dijadikan pemakluman untuk bermalas-malasan atau merasa tidak percaya diri.

Selain berbagi cerita, mereka juga menitipkan pesan untuk teman-teman mahasiswa yang sedang berjuang dengan skripsinya. Tetaplah berjuang, tetaplah semangat walaupun keadaan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Buatlah diri kalian nyaman dengan seluruh potensi yang kalian punya. Kalau memang sekiranya butuh bantuan, carilah teman atau dosen yang bisa membantu. Saling berdiskusi satu sama lain agar menghasilkan pemikiran baru yang bisa jadi itu adalah suatu hal yang lebih baik dari sebelumnya.

Percayalah bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Doa pasti akan sampai pada tujuannya. Buat dirimu bahagia, buat orang-orang di sekitarmu tersenyum, buat orang tuamu bangga karena kamu sudah berhasil melalui ini semua.

Kalau sudah merasa lelah atau bosan, boleh kasih diri sedikit penghargaan. Kopi-kopi manja diujung senja bisa jadi pilihan tepat untuk recharge diri. Tetap semangat, yaaa!!!

 

 

Arti Penting Penelitian Bagi Perguruan Tinggi

Bagi mahasiswa baru yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi, tentu akan dikenalkan dengan tiga pilar penting pembelajaran di tingkatan tersebut, yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Istilah tersebut merujuk pada tiga pilar dasar, yaitu pendidikan dan pengajaran, peneilitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiga pilar tersebut wajib diterapkan dan dilaksanakan di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia, baik negeri maupun swasta.

Seluruh civitas akademika di setiap perguruan tinggi juga wajib turut serta melaksanakan Tri Dharma dalam setiap aspe kehidupan mereka di kampus atau perguruan tinggi. Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam poin pendidikan dan pengajaran tentu merujuk pada proses belajara mengajar di dalam ataupun di luar kelas. Lalu, penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan yang dilaksanakan setelah memperoleh pembelajaran dengan baik. Sedangkan, sebagai langkah akhir yang bisa dilakukan oleh civitas akademika adalah dengan mengabdi pada masyarakat dan menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat di perguruan tinggi.

Kali ini, Nulistimewa akan memfokuskan pembahasan pada pilar yang kedua, yaitu penelitian dan pengembangan. Sebenarnya, kenapa sih seorang dosen atau mahasiswa harus melakukan hal tersebut?

Pertanyaan tersebut berangkat dari keresahan dan permasalahan yang sering terjadi dalam mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Misalnya, bagi seorang dosen, ia akan lebih memilih untuk fokus pada tugas utamanya sebagai seorang pengajar. Juga, tugas lainnya seperti menjadi pembimbing mahasiswa. Seorang dosen menganggap bahwa kedua hal tersebut merupakan keutamaan disbanding melakukan kegiatan penelitian.

Padahal dengan adanya kegiatan penelitian, baik dosen maupun mahasiswa bisa mengembangkan kadar keilmuan mereka. Dalam sebuah penelitian biasanya akan ditemui pemahaman baru, teknologi baru, dan solusi baru atas permasalahan yang menjadi subjek penelitian. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari bersama-sama kita pahami arti penting kegiatan penelitian di lingkup perguruan tinggi.

Mengembangkan Materi Pengajaran

Perguruan tinggi merupakan tempat yang sangat jauh berbeda disbanding dengan tingkatan sekolah seperti SD, SMP, dan SMA. Para pelajar yang ada di perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya menjadi siswa. Dengan adanya label ‘maha’ yang disematkan pada mereka, sudah selayaknya mereka mampu berfikir lebih kritis terhadap pengetahuan yang dimiliki atau yang sedang dipelajari.

Seorang mahasiswa dituntut untuk menjadi aktif dalam pengembangan keilmuan serta jangkauan wawasan yang lebih luas. Oleh sebab itu penelitian merupakan sebuah hal yang wajib dilakukan untuk mendukung mahasiswa menjadi sosok yang inovatif dan kreatif.

Mendukung Pengabdian Masyarakat

Perguruan tinggi memiliki peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pemberdayaan di masyarakat. Karena, pada dasarnya, mereka yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi akan secara langsung memberikan dampak pada kehidupan masyarakat secara umum. Masyarakat menilai bahwa perguruan tinggi sebagai kiblat ilmu pengetahuan yang nantinya bisa membawa mereka kearah yang lebih baik. Oleh sebab itu, adanya penelitian adalah untuk memberikan kebermanfaatan bagi diri sendiri serta masyarakat secara luas.

Melalui kegiatan penelitian yang berlandaskan suatu permasalahan, peneliti dapat menghasilkan solusi dan inovasi terhadap permasalahan tersebut. Artinya, bahwa kegiatan penelitian merupakan bentuk pengabdian secara langsung kepada masyarakat.

Meningkatkan Reputasi Kampus

Riset atau penelitian yang dilakukan oleh seorang akademisi juga memiliki kebermanfaatan dalam meningkatkan reputasi perguruan tinggi itu sendiri. Alasannya adalah, setiap penelitian yang dihasilkan akan selalu dipublikasikan melalui media internet. Dengan begitu, maka hasil atau temuan dari penelitian tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Selain itu, nama peneliti dan perguruan tinggi yang menaunginya juga akan memperoleh nilai kredit. Hal-hal seperti itu sudah pasti akan secara langsung dapt meningkatkan reputasi perguruan tinggi.

Dengan pentingnya melakukan penelitian, seluruh civitas akademika di perguruan tinggi sudah semestinya melaksanakan penelitian dengan baik. Baik mahasiswa dan dosen, sama-sama memiliki peranan untuk menciptakan atmosfir penelitian yang dipenuhi oleh rasa senmangat. Sehingga diharapkan kedepannya akan lebih banyak riset yang dihasilkan dan bermanfaat bagi mereka sendiri serta perguruan tinggi terkait.

Mengenal Plagiarisme dalam Karya Tulis Ilmiah

Karya tulis ilmiah merupakan laporan tertulis hasil dari penelitian atau pengkajian yang dilakukan terhadap suatu permasalahan. Penulisan karya tulis ilmiah dilandasi oleh teori dan metode-metode ilmiah yang berisikan data dan fakta secara runtut dan sistematis. Karya tulis ilmiah juga disusun berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan yang telah disepakati secara general.

Temuan-temuan yang ingin disampaikan oleh peneliti melalui karya tulisnya tersebut haruslah berisikan data dan fakta yang jujur. Karena, apa yang ditulis di dalamnya merupakan suatu sikap pernyataan ilmiah seorang peneliti. Tentu, dengan tujuan untuk memberitahukan kepada khalayak umum mengenai suatu masalah dan jawaban yang bisa dibuktikan kebenarannya.

Oleh karena itu, peneliti dituntut untuk membuat laporan penelitian yang bersifat orisinil atau bukan merupakan hasil ‘curian’ dari karya milik orang lain. Dalam penulisan karya ilmiah, tentu kita sudah familiar dengan istilah plagiarisme. Istilah tersebut merujuk pada tindak kejahatan berupa penjiplakan atau pencurian karangan, pendapat, dan sebagainya yang berasal dari milik orang lain tanpa memperoleh izin. Biasanya, mereka yang melakukan tindakan tersebut akan mengakui bahwa yang mereka buat adalah memang benar karya mereka sendiri.

Hal tersebut tentu melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sudah mengatur hal tersebut. Merujuk pada Undang-Undang ini, seseorang dikatakan melakukan tindakan plagiasi apabila terbukti dengan sengaja menggunakan, mengambil, menggandakan, dan mengubah seluruh atau sebagian hak cipta milik orang lain tanpa izin. Hak Cipta yang dimaksudkan adalah keseluruhan karya yang diciptakan dan sudah didaftarkan kepada lembaga terkait, yaitu Direktorat Jenderal Kekayan Intelektual.

Dalam dunia pendidikan, kaitannya dengan karya tulis ilmiah, Kementerian Pendidikan Nasional secara khusus mendefinisikan Plagiarisme yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 17 Tahun 2014, Pasal 1 Ayat 1. Pasal tersebut mendefinisikan plagiarisme sebagai perbuatan secara sengaja atau tidak dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Dan bagi para akademisi, baik dosen atau mahasiswa yang terbukti melakukan hal tersebut akan diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Bagi dosen sendiri, mereka akan dicopot dari jabatannya sebagai dosen apabila terbukti melakukan tindakan plagiasi pada karya tulis mereka. Sedangkan bagi mahasiswa, status kelulusan mereka bisa dibatalkan jika terbukti menulis skripsi atau thesis hasil dari mencuri karya milik orang lain.

Pada dasarnya plagiarisme memang sulit untuk dihindari. Karena keterbatasan individu untuk mengetahui keseluruhan karya yang terdapat di internet atau sumber lainnya. Untuk menghindari hal tersebut, perlu kiranya untuk mengenal lebih jauh tentang plagiarisme itu sendiri. Selain memahami makna dari plagiarisme, penulis juga perlu untuk mempelajari jenis-jenis plagiarisme yang berlaku. Terdapat dua kategori umum plagiasi yang akan Nulistimewa jelaskan, yaitu jenis plagiarisme berdasarkan aspek yang dicuri dan jenis plagiarisme berdasarkan pola.

Jenis Plagiarisme Berdasarkan Aspek yang Dicuri

  1. Plagiat Ide

Plagiat ide merupakan salah satu bentuk plagiarisme yang sulit untuk diidentifikasi. Pasalnya, pada jenis plagiarisme ini seseorang hanya mencuri ide atau gagasan yang bersifat abstrak. Sehingga terdapat kemungkinan adanya kesamaan ide atau gagasan antara satu karya tulis dengan karya tulis yang lainnya.

  1. Plagiat Kata Demi Kata

Pengutipan kata demi kata merupakan bentuk plagiarisme yang bersifat substansial. Seseorang yang melakukan tindakan plagiarisme jenis ini cenderung mengutip karya orang lain secara spesifik kata per kata. Hasilnya pun tentu akan sama persis secara keseluruhan ide atau gagasan yang diambil. Ini merupakan salah satu jenis plagiarisme yang banyak dilakukan pada karya tulis.

  1. Plagiat Sumber

Sumber merupakan aspek paling dasar dalam menghindari sebuah plagiarisme. Sebuah karya tulis tidak dikatakan plagiat apabila penulis mencantumkan sumber rujukan dengan baik dan benar. Jenis plagiat ini sangat fatal apabila terjadi. Mengingat pemilik karya bisa dengan mudah mengidentifikasi jenis plagiarisme ini dan membawanya ke ranah hukum sebagai bentuk keadilan.

  1. Plagiat Kepengarangan

Plagiat kepengarangan merupakan jenis plagiarisme yang jarang terjadi. Namun, biasanya hal tersebut dilakukan secara sengaja dan sadar dengan tujuan untuk membohongi public. Pada plagiarisme jenis ini, biasanya seseorang akan mengakui karya tulis milik orang lain sebagai karya tulisnya. Ia hanya akan mengubah sedikit dari keseluruhan karya yang ‘dicuri’. Misalnya, seseorang tersebut mengganti sampul pada buku dan menuliskan namanya sebagai penulis. Sehingga ia mengakui bahwa karya tulis tersebut adalah miliknya.

Jenis Plagiarisme Berdasarkan Pola

  1. Plagiarisme Total

Pada jenis plagiarisme ini, penulis biasanya menjiplak keseluruhan isi dari karya tulis milik orang lain dan mengklaim karya tersebut sebagai miliknya. Dalam hal ini, penulis melakuka tindakan plagiarisme dengan mengganti nama asli penulis, merubah sedikit judul, abstrak, dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan demi membuat asumsi bahwa karya tersebut bersifat orisinil. Namun, keseluruhan isi bahasan yang terdapat di dalamnya tetaplah hasil tulisan milik orang lain.

  1. Plagiarisme Parsial

Plagiarisme parsial merupakan bentuk plagiasi dimana seseorang melakukan penjiplakan sebagian karya tulis orang lain. Biasanya, hal-hal yang dicuri berupa pernyataan, metode, teori, sampel, analisa, dan kesimpulan dengan tidak menyertakan sumber aslinya secara jelas.

  1. Auto-plagiasi

Jenis plagiasi ini juga dikenal dengan istilah self-plagiarism, yaitu menduplikasi hasil karya tulisnya sendiri. Seseorang yang melakukan tindakan plagiarisme jenis ini bisa secara sebagian saja atau keseluruhan karya tersebut. Tentu tanpa menyertakan sumber rujukan aslinya. Orang-orang yang biasanya melakukan hal tersebut adalah mereka yang ingin memperoleh nilai kredit tanpa harus bersusah payah memikirkan ide dan menuliskannya menjadi sebuat karya ilmiah. Padahal hasil tulisannya merupakan penjiplakan dari tulisan mereka sendiri.

  1. Plagiarisme Antar Bahasa

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terdapat banyak karya tulis yang ditulis dengan berbagai macam Bahasa. Hal ini memungkinkan adanya tindakan plagiarisme antar Bahasa yang dilakukan oleh oknum. Plagiarisme antar Bahasa merupakan tindakan plagisi dengan cara menerjemahkan karya tulis dari Bahasa asli ke dalam Bahasa yang dituju. Kemudian hasil terjemahan tersebut diklaim sebagai karya tulis miliknya tanpa mencantumkan sumber asli.

Padahal, dalam penulisan karya tulis imiah, terdapat beberapa cara untuk menghindari terjadinya plagiarisme seperti berikut ini:

Membuat Kutipan Langsung

Penulis tentu bisa menghindari plagiarisme dengan membuat kutipan langsung serta menyertakan sumbernya secara jelas. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa penulis disarankan untuk mengutip secara ringkas atau bagian yang dianggap penting saja. Kemudian, diperjelan dengan pernyataan atau argumentasi pribadi dari penulis. Hal ini bisa menjadi alternative bagi penulis yang ingin mengutip landasan teori atau metode yang dianggap seirama dengan karya tulisnya.

Membuat Parafrase Teks

Parafrasa dalam teks merupakan salah satu cara yang paling familiar dalam penulisan karya ilmiah. Hal tersebut dikarenakan penulis tidak mengutip secara langsung. Tetapi mengambil intisari dari gagasan diinginkan, lalu menuliskannya kembali dengan kata-kata sendiri. Namun dalam penulisannya tetap harus mencantumkan sumber rujukan asli.

Sitasi Dalam Teks

Dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah, penulis diberikan kebebasan untuk menentukan sumber referensi. Buku, artikel, jurnal, sampai tulisan di internet pun bisa menjadi sumber referensi. Sebagai bentuk penghargaan terhadap pemilik karya yang dijadikan rujukan, penulisan perlu mencantumkan secara lengkap detil informasi rujukan tersebut dalam tulisannya. Hal-hal yang perlu diacantumkan adalah nama lengkap, judul karya, halaman, penerbit, tahun, dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Daftar pustaka merupakan kumpulan sumber yang dipakai sebagai rujukan dalam penulisan. Hal ini bisa dilakukan oleh penulis untuk menghargai pemilik karya yang sebagian isinya dijadikan referensi. Tentu, dengan menuliskan secara lengkap di daftar pustaka, tidak ada hak yang di salah gunakan oleh penulis itu sendiri.

Meskipun cara-cara tersebut bisa dilakukan untuk menghindari plagiarisme, kadang masih saja terjadi kecurigaan plagiasi. Misalnya, saat seorang akademisi atau peneliti telah berhasil menulis karya dengan baik dan benar. Lalu, ia mengirimkan tulisannya untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah. Ternyata saat dilakukan pemeriksaan plagiasi, terdapat presentase plagiarisme melebihi batas wajar (20-30%).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis bisa memanfaatkan berbagai macam aplikasi atau perangkat lunak computer khusus untuk plagiarisme. Aplikasi yang popular dan paling sering digunakan oleh penulis, yaitu Grammarly dan Turnitin. Kedua aplikasi berbayar ini menawarkan kemudahan dalam pemeriksaan kemungkinan adanya unsur plagiarisme dalam tulisan. Keduanya pun memiliki tingkat keakuratan yang cukup bagus. Karena database yang mereka miliki terhubung ke jutaan karya tulis yang dimuat di internet. Tentu, dengan adanya aplikasi-aplikasi ini penulis merasa terbantu untuk terhindar dari presentase plagiarisme yang tinggi.

Alat Bantu Skripsi

Menyelesaikan skripsi memang bukanlah perkara yang mudah. Perlu mental yang kuat diiringi dengan kemampun berfikir yang cerdas. Hal tersebut berkaitan dengan kendala-kendala yang mungkin saja dirasakan saat sedang berproses dalam penyusunan.
Misalnya saja, dalam menentukan topik dan judul penelitian, mahasiswa dituntut untuk memilih topik penelitian yang sebisa mungkin belum pernah ada yang meneliti sebelumnya. Terlebih jika sudah matang menentukan pilihan, topik penelitian sewaktu-waktu bisa dirubah oleh dosen pembimbing. Hal yang akan membuat mahasiswa merasa semakin tertekan untuk bisa melangkah ke fase berikutnya, yaitu memilih referensi, mengolah isi penulisan, sitasi, mengolah data, sampai interpretasi hasil analisa data.

Mahasiswa mungkin saja akan merasa ‘malas’ dan menyerah dengan keadaan yang tidak membuat mereka nyaman. Meski begitu, hal tersebut bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Di era digital seperti saat ini, banyak media yang berfungsi sebagai alat bantu untuk mengerjakan skripsi, yang akan diulas secara sederhana oleh Nulistimewa.

Pencarian Referensi
Seperti yang kita ketahui secara bersama, menulis skripsi memerlukan referensi sebagai bahan dasar penulisan. Referensi yang dimaksud adalah hasil karya tulis ilmiah dari peneliti lainnya. Mahasiswa bisa mengacu pada referensi berupa buku, jurnal, atau artikel yang dimuat di laman internet. Namun, perlu dipahami bahwa referensi buku dan jurnal lebih diutamakan dibanding dengan referensi yang berasal dari artikel di internet. Hal tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian yang berlaku. Yang disebutkan bahwa referensi atau sumber rujukan haruslah berasal dari buah pemikiran ilmiah yang didapat dari hasil penelitian terstruktur dan bisa dibuktikan kebenarsannya secara faktual.

Dalam proses pencarian referensi, terkadang mahasiswa mengalami kesulitan untuk menemukan rujukan yang diinginkan. Sering kali, mereka tidak menemukannya meski sudah mengunjungi beberapa perpustakaan. Salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah mencari referensi di internet. Di era modern saat ini, mahasiswa dimanjakan dengan beberapa penyedia jasa referensi yang dapat membantu mereka menulis karya ilmiah.

Salah satu penyedia jasa referensi yang paling dikenal adalah Google Scholar atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai Google Cendekia. Google Scholar merupakan sebuah layanan yang dari Google yang menyediakan beragam materi dalam berbagai format publikasi. Layanan yang mulai diluncurkan sejak tahun 2014 ini memberikan kemudahan akses bagi mereka yang ingin mencari referensi berupa makalah peer-reviewed, thesis, buku, abstrak, dan artikel dari berbagai penerbit.
Bagi mahasiswa, mereka biasanya mencari referensi berupa buku atau artikel jurnal. Hanya dengan menuliskan kata kunci sesuai dengan topik penelitian, maka ratusan referensi akan muncul. Mereka hanya perlu untuk mengidentifikasi lebih lanjut referensi mana yang sesuai dengan yang dibutuhkan.

Ada beberapa tips yang bisa diaplikasikan saat menggunakan Google Scholar. Pertama, gunakan fitur “Advanced Search” untuk menghasilkan referensi yang lebih spesifik sesuai dengan kata kunci yang dimasukan. Kedua, gunakan fitur “My Library” untuk menyimpan referensi yang sudah dipilih. Ketiga, pada layanan Google Scholar terdapat fitur “Citation” yang dapat memudahkan mahasiswa untuk penulisan sitasi yang tepat sesuai aturan yang berlaku. Terdapat beberapa referensi sitasi yang disediakan seperti MLA, APA, Chicago hingga Harvard. Mahasiswa hanya perlu menyalin teks yang ada ke Ms. Word.
Selain Google Scholar, layanan pencarian referensi lainnya bisa melalui Research Gate, Scopus, LinkedIn, Academia Edu, dll.

Pemilihan Referensi
Setelah mendapatkan referensi yang diinginkan, mahasiswa tidak serta merta langsung membacanya dan menuliskan isi di dalamnya. Tetapi perlu memperhatikan kualitas referensi tersebut. Karena, ada beberapa artikel atau jurnal yang ‘abal-abal’. Hal tersebut perlu dihindari apabila menginginkan hasil penulisan yang berkualitas. Selain itu, hasil karya tulis yang berisikan referensi yang ‘abal-abal’ memilki kemungkinan untuk terkena sanksi karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian ilmiah.

Hal paling mendasar untuk memerika kualitas referensi tersebut adalah apakah terdapat nama jelas penulis, penerbit, tahun terbit, terbitan ke berapa, penulisan judul, penulisan abstrak, sitasi, hingga penulisan pada isi. Kadang terdapat artikel atau jurnal yang berasal dari hasil karya tulis orang lain atau tidak memiliki kelengkapan penulisan sesuai struktur penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan hal tersebut, Nulistimewa merekomendasikan salah satu layanan yang bisa diakses secara gratis untuk memeriksa kualitas artikel dan jurnal. Layanan yang dimaksud adalah website www.predatoryjournals.com.

Website tersebut memungkinkan para peneliti untuk melihat apakah penerbit memiliki reputasi yang bagus atau tidak dalam penerbitan karya tulis ilmiah. Caranya adalah dengan mengetikan judul artikel atau nama jurnal dalam kolom “Find”. Apabila terdapat artikel atau jurnal yang dimaksud, maka kemungkinan besar itu merupakan referensi yang kurang berkualitas. Sehingga masih bisa diperdebatkan keabsahan penulisan dan penerbitannya. Namun, apabila tidak muncul artikel atau jurnal yang dimaksud, maka bisa dipastikan kalau referensi tersebut memiliki kualitas yang baik dan layak untuk dijadikan rujukan penulisan.

Pengutipan (sitasi)
Pengutipan merupakan bagian yang cukup berpengaruh dalam penulisan karya tulis ilmiah. Sebagus apapun tulisan yang dibuat, apabila tidak ada ahli atau praktisi yang mendukung, maka hasilnya belum dikatakan kuat secara argumen. Fungsi dari pengutian itu sendiri adalah penguatan terhadap teori dan hasil pengolahan data pada topik penelitian yang relevan.

Beberapa gaya pengutipan yang popular digunakan dalam karya tulis ilmiah yaitu APA (American Psychological Association), MLA (Modern Language Association), MHRA (Modern Humanities Research Association), IEEE, Chicago style dan lain-lain. Tentunya, masing-masing dari jenis pengutipan tersebut memiliki struktur pengutipan yang berbeda. Hal yang dirasa cukup menyulitkan bagi peneliti dan mahasiswa jika harus mengutip secara manual. Meski tidak ada larangan dalam hal tersebut, namun dikhawatirkan masih terjadi kesalahan dalam praktiknya.

Untuk memudahkan para penulis, dalam hal ini adalah peneliti, mereka bisa menggunakan aplikasi pengutipan bernama Mendeley. Sejatinya Mendeley bukan hanya dirancang sebagai software untuk penutiana saja. Namun, program yang dikembangkan oleh Elsevier ini juga berfungsi sebagai perpustakaan online yang terhubung langsung dengan server Mendeley. Sehingga peneliti bisa menyimpan seluruh data referensi secara online di dalam program ini.

Selain itu, poin utama dalam program ini adalah pengutipan yang ringkas, cepat, dan tepat. Peneliti tidak perlu lagi mengutip secara manual, mengingat bahwa Mendeley sudah terintegrasi secara langsung dengan Ms. Word. Peneliti hanya perlu mengaktifkan ikon “Insert Citation” pada toolbar “References”, lalu menuliskan judul artikel atau referensi yang ingin dikutip. Setelah itu, maka hasil sitasi akan secara otomatis muncul sesuai dengan jenis pengutipan yang diinginkan.

Pengolahan Data (kuantitatif dan kualitatif)
Tidak lengkap rasanya jika dalam penelitian tidak membahas tentang pengolahan data. Bagi para peneliti yang sudah memiliki data mentah, selanjutnya akan masuk pada proses pengolahan data. Terdapat dua jenis pengolahan data dalam penelitian, yaitu data penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah proses pengukuran berdasarkan data berupa angka. Sedangkan, penelitian kualitatif adalah proses pengukuran berdasarkan data audio dan visual, dimana peneliti merupakan instrument penelitian itu sendiri.

Proses analisa data pada penelitian merupakan fase yang cukup rumit dan terkadang membutuhkan waktu yang lama. Namun, seiring berkembangnya zaman, semakin banyak pula aplikasi atau software yang menawarkan kemudahan tersebut. Sehingga peneliti tidak perlu repot lagi menghitung atau mengolah data secara manual.

Pada penelitian kuantitatif, tentu kita sudah familiar dengan software pengolahan data berbasis IBM SPSS. Perangkat lunak ini memiliki fungsi sebagai pengolah data statistik melalui sistem managemen data yang mudah dipahami. Banyak sekali analisis yang dikerjakan oleh software ini seperti uji deskriptif, uji T, uji F, regresi linear, analisis faktor, ANOVA, MANOVA, ANCOVA, dan masih banyak lagi fungsi yang bisa digunakan. Kelengkapan dan kemudahan yang diberikan oleh SPSS membuat peneliti merasa terbantu dalam mengolah data secara kuantitatif.

Lalu, untuk pengolahan data kualitatif, NVivo hadir sebagai salah satu software terbaik di bidangnya. Perangkat lunak yang diproduksi oleh QSR International ini memang secara khusus dirancang untuk para peneliti kualitatif. Mereka mengandalkan data berupa teks dan atau multimedia. NVivo telah banyak digunakan oleh para akademisi/peneliti di berbagai bidang keilmuan, salah satunya ilmu sosial. Kemudahan yang ditawarkan oleh perangkat lunak ini pada intinya adalah membantu peneliti menganalisa data non-numerik atau data yang sifatnya tidak terukur.

Kelebihan yang bisa ditawarkan oleh NVivo adalah kemampuan koding data dengan efektif dan efisien. Bagi para peneliti, fitur-fitur yang dimiliki oleh NVivo cukup membantu mereka dalam merepresentasikan data dalam bentuk table, grafik, dan diagram. NVivo juga membantu peneliti untuk mengatasi masalah subjektivitas dalam pengambilan kesimpulan.

Para peneliti seperti sedang dimanjakan dengan kehadiran beberapa perangkat lunak tersebut. Dari pencarian referensi sampai pengolahan data, telah hadir untuk memberikan efisiensi penelitian. Secara langsung, para peneliti merasa terbantu dalam melakukan riset penelitian. Sehingga, waktu yang diperlukan pun menjadi lebih efisien dan beban kerja pun menjadi lebih efektif. Hal tersebut membuat para peneliti akan lebih memfokuskan pada kualitas dan kredibilitas penelitian itu sendiri.

Skripsi Sebagai Syarat Kelulusan

Bagi sebagian besar mahasiswa, skripsi adalah momok yang mungkin paling ditakutkan. Baik itu bagi mahasiswa semester awal maupun mereka yang sudah bertahun-tahun menjalani proses perkuliahan. Tentu hal tersebut tidak terlepas dari status skripsi sebagai sebuah syarat kelulusan. Seperti yang kita pahami bersama, skripsi adalah syarat mutlak bagi mahasiswa yang ingin memperoleh gelar sarjana dan dinyatakan lulus dari kampus tercinta. Dikutip dari laman Wikipedia, istilah skripsi merujuk pada suatu karya tulis ilmiah yang berisikan argumentasi dan fakta aktual hasil penelitian yang membahas suatu permasalahan atau fenomena yang dikaji dalam bidang ilmu tertentu dengan menggunakan keidah-kaidah keilmuan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan bahwa nasib mahasiswa ditentukan berdasarkan hasil penelitian mereka yang kemudian diujikan dihadapan para penguji (dosen).

Bagi mahasiswa semester awal tentu masih bisa bersantai menjalani setiap waktu dalam perkuliahan mereka sebelum nantinya berjibaku dengan skripsi. Namun, bagi mahasiswa yang sudah berada diujung waktu, sudah tidak ada lagi kata ‘santai’ yang bisa membuat mereka merasa nyaman. Justru, dunia mereka hanya akan diliputi oleh rasa gelisah, khawatir, dan cemas. Memilih dosen pembimbing, menentukan judul skripsi, mempelajari analisa data, hingga akhirnya berhadapan dengan para penguji, merupakan serangkaian langkah yang harus ditempuh meski dalam keadaan was-was sekalipun. Menghabiskan banyak waktu, materi dan tenaga untuk membaca serta menuliskan semua ide ke dalam bentuk tulisan yang bersifat ilmiah. Selain merasa tertekan secara emosional, tidak bisa dipungkiri juga bahwa mahasiswa merasa tertekan secara finansial.

Lalu, sebenarnya apa alasan yang mendasari adanya skripsi sebagai syarat wajib kelulusan? Pertanyaan ini mungkin saja ada di benak para mahasiswa yang merasa tidak nyaman dengan adanya skripsi. Untuk memberikan sedikit pemahaman tentang hal tersebut, kita perlu berkenalan terlebih dahulu tentang skripsi itu sendiri.

Pengertian Skripsi

Selain pengertian skripsi yang dikutip oleh Wikipedia, Nulistimewa coba menghadirkan beberapa asumsi yang berasal dari para ahli di bidangnya. Menurut Dr. Masnur Muslich, M.Pd., salah seorang dosen di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengajar di Universitas Negeri Malang berpendapat bahwa skripsi adalah karya ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa program sarjana S-1 yang membahas topik atau bidang tertentu berdasarkan hasil kajian Pustaka yang ditulis oleh para ahli, hasil penelitian lapangan, atau hasil pengembangan eksperimen. Pendapat lain juga mengatakan bahwa skripsi merupakan sebuah laporan tertulis dari hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dipandu oleh dosen pembimbing untuk dipertahankan di hadapan para penguji skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana (Dr. F.X. Rahyono, S.S., M.Hum., dosen Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia). Dari kedua pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa skripsi adalah laporan tertulis hasil penelitian mahasiswa tingkat program sarjana S-1 yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan dikembangkan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang berlaku. Tidak heran jika mahasiswa diwajibkan untuk melakukan penelitian lapangan dan mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari di dalam lingkungan masyarakat.

Asal Mula Skripsi

Dari sekian kehebohan yang dibuat oleh kehadiran skripsi, tentu ada satu pertanyaan yang sudah pasti terbesit di benak mahasiswa “siapa penemu skripsi?”. Benar memang pertanyaan tersebut akan selalu ada sampai saat ini mengingat terkadang skripsi menjadi batu sandungan bagi mahasiswa yang ingin segera lulus. Bayangkan saja, dari sekian ratus jumlah SKS yang sudah dipelajari, mahasiswa dihadapkan pada 6 SKS sebagai penentu kelulusan mereka sebelum akhirnya mendapatkan predikat sarjana. Lalu sebenarnya siapakah penemu skripsi?

Sejauh ini pertanyaan tersebut belum mendapatkan jawaban yang pasti terkait siapa orang yang mencetuskan skripsi sebagai syarat kelulusan. Hanya saja kita bisa sedikit memahami bahwa skripsi merupakan sebuah tradisi yang dimulai sejak lama. Dahulu, di abad pertengahan Eropa, orang-orang yang ingin bekerja harus terlebih dahulu menyandang gelar ‘ahli’ sesuai dengan bidang yang ditekuni. Oleh karena itu, asosiasi pekerja di Eropa sepakat bahwa harus ada pembuktian kehalian yang dilakukan oleh para calon pekerja. Mereka diminta untuk membuktikan keahliannya dengan menghasilkan suatu karya, atau yang dikenal dengan istilah masterpiece. Karya tersebut kemudian disajikan kepada para pengurus asosiasi untuk memperoleh penilaian. Mereka dengan karya yang disetujui oleh pengurus asosiasi akan memperoleh gelar master (ahli) di bidangnya. Selain itu, mereka juga diterima menjadi anggota asosiasi dan memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing.

Lalu, seiring berjalannya waktu, praktik tersebut diterapkan pada aspek Pendidikan. Ketika perguruan tinggi mulai didirikan pada rentang tahun 800 Masehi, para pengelola mengadopsi hal tersebut sebagai syarat bagi mahasiswa yang ingin memperoleh gelar Sarjana, Master, dan Doktor. Mahasiswa diminta untuk membuktikan diri mereka terlebih dahulu dengan melaksanakan penelitian ilmiah secara baik dan benar. Hal tersebut bertujuan untuk melihat sejauh mana mahasiswa bisa memahami apa yang sudah dipelajari selama perkuliahan. Lalu mengamalkannya secara langsung di lingkungan masyarakat umum. Sehingga, apa yang sudah dipelajari bisa bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga lingkungan sosial yang membutuhkan.

Kesimpulan

Meski sejauh ini penerapan skripsi masih terbilang belum optimal, serta banyak mahasiswa yang mengeluh tentang rumitnya proses pengerjaan skripsi, hal tersebut tidak mengurangi nilai dan manfaat dari skripsi itu sendiri. Tentu terdapat alasan kuat kenapa skripsi dijadikan persyaratan untuk lulus, seperti meningkatkan keahlian umum di bidang yang diampu, sebagai bentuk pembuktian diri, serta membentuk karakter mandiri.

Hal paling penting yang harus dipahami adalah skripsi merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, poin pertama dari Tri Dharma Perguruan Tinggu adalah Pendidikan atau pengajaran. Poin ini merupakan dasar daripada proses yang nantinya akan dilalui oleh para mahasiswa, dimana mereka memperoleh pendidikan sesuai dengan bidang masing-masing. Lalu, poin kedua adalah penelitian dan pengembangan. Poin inilah yang nantinya berkaitan langsung dengan proses penulisan skripsi. Merumuskan masalah, menganalisa masalah, hingga menyelesaikan masalah tersebut sudah menjadi tanggung jawab mahasiswa. Dan terakhir kedua poin terssebut akan diaplikasikan secara nyata pada poin ketiga, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa yang sudah sekian tahun memperoleh pendidikan dan melaksanakan penelitian berbasis skripsi memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan kebermanfaatan tersebut kepada masyarakat.

Jadi, untuk teman-teman yang sedang berjuang dengan skripsinya tetap semangat ya. Jangan menyerah dengan keadaan yang kadang meyebalkan. Percayalah bahwa apa yang sedang kalian lalui adalah bagian dari proses pembentukan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Buatlah diri kalian nyaman dengan apa yang kalian pilih. Buatlah diri kalian bangga dengan apa yang kalian buat, karena skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai. Tetap semangat dan jangan lupa untuk selalu berdoa dan berusaha.

Egosentris

Tak terasa matahari sudah mulai meninggi. Terik sinarnya sudah menerangi setiap sudut kamar. Suara burung yang bersaut-sautan membangunkanku dari lelapnya tidur di akhir malam. Lelah masih nampak jelas di wajah, akibat dari perjalanan semalam suntuk yang cukup membuatku kehabisan tenaga. Ternyata, aku sudah terlelap selama hampir 5 jam sejak waktu ketibaanku menjelang subuh. Jam sudah menunjukkan pukul 9 dan aku kembali harus melewatkan perkuliahan hari ini.

Aroma teh hijau sudah lebih dulu menyapa. Wangi khasnya seolah memenuhi seisi kamar tidur sebagai pengingat bahwa aku harus segera bangun. Namun, raga masih menolak untuk beranjak dari peraduannya. Cukup membuka mata dan bergeliat tanpa arah adalah perpaduan yang sangat nikmat. Apalagi jika ditambah dengan memandangi layar ponsel tanpa tau pasti apa yang harus dilakukan. Sembari meluruskan semua anggota badan, mataku berpendar hendak mencari letak ponsel yang sudah kubiarkan semalaman.

DRTTT!!! DRTTT!!!

Puluhan pesan dan belasan panggilan dari Lara memenuhi notifikasi. Kejadian semalam memaksaku untuk sama sekali tidak memikirkannya. Bahkan, untuk memberi kabar pun tidak terlintas di pikiran. ‘Jangan sampai hal ini malah memperkeruh keadaan’ pikirku.

Sudah pasti aku harus berusaha lebih keras untuk memberikan penjelasan. Perlu tenaga yang tidak sedikit tentunya. Oleh sebab itu, energi harus tetap terisi. Aku memaksakan diri duduk di pinggir tempat tidur beberapa saat. Lalu, pergi menyusuri setiap anak tangga menuju dapur. Ternyata, Ibu sudah menyiapkan semua keperluan keluarga pagi ini. Masakan khas sunda, hidangan penutup, dan beberapa camilan terlihat sangat menggoda diatas meja makan.

“Baru bangun, nak?” Dari arah ruang tamu Ibu menyapaku sembari menyesap teh hijau yang selalu ia minum setiap paginya. “Bukannya kamu hari ini ada kuliah?” Ibu melanjutkan pertanyaannya.

“Iya mah, Saka kesiangan. Nanti Saka izin deh sama dosennya.”

“Yaudah, kamu sarapan dulu aja.”

Cuaca pagi ini sedang tidak menentu, ditambah perasaanku yang semakin tidak keruan. Secangkir cappucino latte adalah pilihan tepat untuk memulai menjalani hari ini. Tegukan pertama begitu terasa menenangkan. Serbuk kopi yang larut dalam siraman air panas menusuk jauh ke dalam indera penciuman. Ahh…aroma seperti inilah yang selalu kurindukan setiap kali pikiranku sedang kacau.

Nalar memang benar-benar sedang bermuka dua. Mengejek nurani yang terus-terusan dihantui perasaan takut diatas pandangan yang tidak meyakinkan. Aku pun dibuatnya tertunduk lesu oleh rasa pesimis dari setiap kemungkinan yang ada. Semakin aku mencoba memahami perasaan ini, aku malah semakin jatuh dibuatnya. Seolah-olah menjadi seorang pengecut yang tidak mampu mengendalikan nalar dan nurani yang seringkali bersitegang.

Tapi, pada akhirnya aku menyerah pada nalar. Ia menyeretku pada gelombang perasaan yang sulit untuk ditahan. Tegukan terakhir cappucinoku menghidupkan kembali memori dan membawaku pada perputaran waktu beberapa hari yang lalu. Cerita demi cerita yang disajikan oleh semesta terlihat begitu jelas dan malah membawaku pada keadaan yang mungkin akan terjadi. Entah kemungkinan yang bisa aku terima atau justru memaksaku untuk sekeras mungkin menolaknya.

“I miss you, Lara.”

Aku mengirimkan pesan itu pada Lara dengan latar secangkir kopi cappucino panas yang sedang kupegang. Mungkin itu bisa menjadi sebuah awalan untuk nantinya disambung dengan permintaan maaf. Kejadian semalam sudah pasti menimbulkan beberapa pertanyaan di benaknya. Aku harap pesan itu bisa sedikit menenangkan, meski marah mungkin sedang merajainya saat ini.

“Kamu udah selesai makannya? Kok malah bengong sih.”

Aku setengah terkejut saat Ibu mendapatiku sedang tenggelam dalam lamunan singkat. Sambil mengusap-usap rambutku, Ibu menasihatiku untuk menjaga kesehatanku dan juga menjaga ibadahku. Ia selalu berpesan bahwa sebagai anak lelaki tertua, aku harus bisa menjadi Saka yang baik bagi adik-adikku. Menjadi panutan bagi mereka saat usinya mulai beranjak dewasa. Ibu juga selalu berpesan padaku untuk segera menyelesaikan pendidikan dan melanjutkan hidup untuk masa depan yang lebih baik. Meski terdengar membosankan, nadanya yang membumi selalu bisa memeluk nurani. Memberikan ketenangan serta keteduhan layaknya rimbun pepohonan di tengah hutan.

“Mama siang ini ngajar kan?”

“Iya, tapi bapak kan lagi sakit. Jadi, nanti engga ada yang nemenin di rumah.”

“Mama ngajar aja hari ini, biar Saka yang nemenin bapak. Kasian, pasti murid-muridnya udah kangen sama Ibu guru cantik.” Ibuku hanya tersenyum. Aku seringkali menggodanya seperti ini.

“Ya engga atuh, Saka. Kamu kan harus berangkat ke kampus. Ada kuliah kan siang sampai sore nanti?”

“Selama semester ini Saka selalu hadir. Boleh ya sekali-kali Saka izin ga masuk. Biar mama bisa ketemu sama murid-muridnya yang lucu dan bapak ada yang nemenin di rumah.”

Ibuku hanya tertawa mendengar alasan dariku. Ia begitu menikmati percakapan singkat ini, meski kutahu perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Aku membalasnya dengan senyuman, lalu meminta izin untuk kembali ke kamar. Melanjutkan istirahat sebelum siang nanti mengantar Ibu pergi ke sekolah tempatnya mengajar.

Lara sepertinya sedang sibuk. Ia belum menyempatkan diri membalas pesan yang kukirimkan saat sarapan tadi. Sepertinya ia memang sedang tidak punya waktu yang cukup untuk membalas dengan cepat. Aku tidak ingin berlama-lama dengan semua pikiran ini. Aku masih merasa lelah untuk menelpon dirinya. Saat ini cukup bagiku untuk membiarkannya mengalir tanpa harus memikirkannya dalam-dalam. Aku sudah terlalu kenyang dengan semua makanan yang aku telan. Rasa kantuk mulai kembali menghinggapiku, meminta haknya untuk disegerakan.

Hujan seketika turun membasahi seisi kota. Matahari yang bersinar terik pagi tadi sudah digantikan oleh sekumpulan awan hitam. Aku terbangun sebab dering suara alarm yang berulang-ulang mengganggu. Mataku masih terasa berat, kepalaku masih terasa pening untuk sekedar mematikan suara itu. Rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 12. Aku harus segera mengantar Ibu, yang ternyata sudah bersiap di ruang tamu.

Hujan menurunkan semua elemennya dari langit. Mengguyur mobil kami yang sedang melaju ke tempat Ibu menyambung hidup keluarga. Awan-awan hitam tak kuasa menampung air yang memang sudah waktunya harus turun ke bumi. Hujan bulan Desember memang selalu punya romansa yang berbeda. Yang mampu menyapa tanah-tanah lapang melalui rintik-rintik pemanis.

Sesekali aku melihat ke layar ponsel untuk memastikan apakah Lara sudah memberikan pesan balasannya atau masih disibukkan dengan urusannya. Rupanya, Lara belum memberikan kesempatan bagiku untuk tenang. Isi kepalaku kembali disusupi oleh ribuan pertanyaan. Menempatkan aku pada keadaan yang kembali tidak menentu. Aku tidak punya kesempatan untuk memilih atau menolak. Kembali mengingat tentang beberapa peristiwa yang menyeretku pada perasaan takut akan kehilangan.

Ditemani lagu-lagu dari radio, di balik kemudi yang melaju santai, Ibu memecah keheningan suasana.

“Saka, kasep. Lagi mikirin apa sih? Sok atuh cerita sama mama.”

“Mama pernah gak sih ngerasa sedih sama kehilangan yang belum terjadi?” Ibuku menaikan sedikit alisnya dan menoleh kearahku. Menatap heran atas pertanyaan yang baru saja kuajukan.

“Kamu tuh ya ngasih pertanyaan kok yang aneh-aneh. Mama belum paham sama maksud pertanyaan kamu.”

“Akhir-akhir ini, Saka ngerasa berat banget sama isi pikiran dan perasaan sendiri. Kayak ada beban yang lagi ditumpuk-tumpuk.”

“Mama tebak pasti tentang perempuan. Sok atuh bageur cerita. Mama belum pernah denger lagi Saka cerita tentang perempuan sejak terakhir kamu kenalin Aryanti ke mama.”

Ucapan mama mebuatku terdiam beberapa saat. Mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya aku mengenalkan seorang perempuan sebagai pasanganku.

“Sebetulnya, semenjak Saka memutuskan pergi dari kehidupan Aryanti, ada perempuan lain yang bisa bikin Saka luluh. Perempuan yang selalu bisa bikin Saka ngerasa lebih baik setiap harinya. Selama ini kalau mama sering liat Saka telponan dan senyum-senyum sendiri, itu udah pasti Lara pelakunya.”

“Terus kenapa kamu malah ngerasa sedih?”

“Beberapa hari yang lalu, Saka dihadapin sama masalah yang Saka sendiri belum tau akarnya dimana, salahnya dimana. Kakak dari Lara tiba-tiba aja pengen tau lebih jauh tentang hubungan kami seperti apa. Memang, keluarganya pun belum sepenuhnya mengetahui kepastian hubungan kami. Yang bikin Saka ngerasa sedih adalah sikap Lara yang seolah-olah berubah drastis. Sampai sekarang, dia belum ngasih sedikit pun kabar ke Saka. Yang bikin kepala Saka penuh sama pertanyaan-pertanyaan tentang ketidakpastian, tentang kehilangan yang mungkin akan Saka rasain.”

Ibuku hanya tersenyum dengan teduhnya.

“Saka, yang namanya kepastian itu hanya milik Tuhan. Kita tidak berhak menerka-nerka akan seperti apa hadirnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan berusaha sebisanya. Dan perihal kehilangan, ada satu hal yang perlu kamu pahami. Semua bentuk kehilangan, yang diambil dari kita dengan cara apapun, tidak benar-benar kehilangan yang menyakitkan. Ia justru hadir sebagai sebuah perlindungan. Kamu inget waktu kakek berjuang ngelawan rasa sakitnya? Waktu Tuhan mempersilahkan kakek untuk berpulang, itu adalah sebuah perlindungan agar beliau dijauhkan dari dosa-dosa yang mungkin diperbuat dan dilepaskan dari rasa sakitnya.”

Aku terdiam mendengarkan apa yang barusan mama sampaikan. Seperti ada yang sedang menusuk nurani. Bukan untuk menyakiti, tapi memberikan kesadaran.

“Tapi ma, Saka masih belum siap dengan kemungkinan-kemungkinannya nanti. Saka belum siap kalau harus kehilangan Lara.”

“Saka, kalaupun Lara harus pergi dari kehidupan kamu, itu engga murni karena keputusannya sendiri. Ada andil Tuhan di dalamnya. Garis takdir atas ketentuan-Nya yang tidak bisa dirubah, oleh siapapun. Tapi, kamu harus percaya, engga semua yang pergi adalah untuk meninggalkan. Kalau memang Lara sudah ditakdirkan untuk kamu, sejauh apapun dia pergi, seberat apapun rintangan yang harus kamu hadapi, dia pasti akan kembali. Kuasa Tuhan jauh lebih besar dari apa yang kamu pikirkan.”

Lagi-lagi ucapan Ibu membuatku merasa bersalah. Aku terlalu egois jika harus memaksa Lara untuk tetap tinggal. Rasanya ingin sekali aku memeluk erat dirinya, atas kedamaian dan ketenteraman percakapan ini. Aku sangat bersyukur memiliki Ibu sebaik mama. Bidadari surga yang nampak nyata hadirnya.

“A Saka, nanti sore jemput mama ya. Terus, besok antar bapak berobat lagi ke luar kota.”

“Siap tuan putri.” Kami menutup percakapan itu dengan berbekal senyuman yang saling meneduhkan. Ada perasaan lega setelah bercerita dengan beliau.

~

“Assalammua’alaikum, Lara. Kamu apa kabar?”

Sebuah pesan kubuat dengan perasaan gugup. Pesan yang kuharap bisa sampai pada Lara saat ini. Tiga hari setelah kami berdebat tentang masalah Lara dan kakaknya, tak ada satu pun kabar yang aku terima dari Lara. Pesan-pesan yang kukirimkan hanya sampai pada tujuan tanpa ada satu pun balasan. Seluruh panggilan telpon yang tertuju padanya pun hanya menjadi omong kosong yang sia-sia. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku hanya sedang kewalahan mengatur degup jantung yang semakin hari semakin kencang. Rasanya seperti seorang penjahat yang tengah menanti keputusan hakim dalam persidangan.

Siang ini aku akan kembali bertolak ke Bandung. Kota yang dipilih oleh Ibuku sebagai tempat pengobatan untuk bapak. Rasanya aku sedang tidak ingin diganggu oleh riuhnya jalanan di akhir pekan. Isi kepalaku sudah terlalu penuh dengan beragam hal aneh. Kemacetan kota Bandung yang hampir serupa dengan Jakarta hanya akan menambah kesemerawutan pikiran. Hanya saja, Tuhan sedang membukakan jalan kebaikan untuk aku raih. Jalan yang dibuka untuk aku berbakti kepada kedua orang tua. Meski keadaanku sedang tidak baik, senyum dan semangat harus tetap terjaga di hadapan mereka.

Aku tidak bisa berbohong bahwa sejak pertemuan terakhirku dengan Lara di Chemistree, ada beberapa bagian dalam diriku yang mulai terasa hampa. Aku tidak pernah mengerti sebelumnya, hukum apa yang sedang alam perbuat. Ada banyak hal yang mulai menampakkan kepergiannya secara perlahan. Warna percakapan yang mulai memudar, yang tidak bisa lagi diingat sebelum beranjak tidur di sepertiga malam. Tidak ada lagi berita yang selalu kutunggu hadirnya, atau pesan-pesan yang biasa kubaca di ujung malam. Semua mendadak lenyap begitu saja. Pergi meninggalkan aku yang masih saja teguh untuk menanti.

“Udah siap nak?” Suara mama membuyarkan lamunanku. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar yang kubiarkan setengah terbuka.

“Iya ma. Ini Saka udah mau turun.”

Alunan musik dari radio 102.2 FM menemani sepanjang perjalanan kami menuju kota kembang. Jalanan yang semula kukira akan membuatku kesal, tampak lengang meski sesekali macet masih aku jumpai. Kami tiba pukul 6 sore tepat saat azan maghrib berkumandang. Mataku menyusuri keadaan sekitar sambil mencari letak suara merdu yang tengah digaungkan. Aku mengajak Ibu dan bapak untuk melaksanakan kewajiban terlebih dulu sebelum beranjak masuk ke tempat pengobatan.

Hujan tengah memayungi kota Bandung malam ini. Rasa kantuk mulai menyerang, bertemankan riuhnya rintik hujan yang jatuh diatas atap berbahan alumunium. Sambil menunggu bapak yang tengah menjalani pengobatan, secangkir kopi cukup untuk menemani sepi dan bosan yang kadang terlalu menyiksa. Aku membuka ponsel dan berselancar di dunia maya, lalu mencari beberapa tulisan yang menarik untuk dibaca. Mataku terhenti pada sebuah tulisan yang diterbitkan pada laman sebuah blog.

     Terkadang, sulit rasanya untuk bisa menerima hal-hal yang tak kita ingin.     
     Yang datangnya tanpa sapa, yang pergi tanpa kata, atau yang hilang tanpa suara.
     Sulit rasanya untuk bisa benar-benar menerima.
     Saat semua ingin, tak lagi hadir secara utuh.
     Saat semua angan datang, lalu menghilang.

     Kita memang tidak pernah benar-benar paham.
     Kita hanya sedang dipaksa untuk mengerti, lalu menerima.
     Sebab, tidak semua hal harus beralasan.
     Tidak semua pergi adalah untuk meninggalkan.

     Kita hanya perlu terbiasa dengan semua benar yang hadir.
     Dengan semua rekaan, yang tidak layak untuk dipersalahkan.
     Kita hanya perlu belajar menerima, tiap-tiap pesan utusan semesta.
     Mungkin, ini adalah wujud dari sajak-sajak doa yang selama ini dilangitkan.
     Yang menembus awan-awan tebal, di sepanjang sepertiga malam.

     Aku percaya, ini adalah cara Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.
     Ia sedang menunjukkan jalan yang benar, saat kita memilih jalan yang salah.
     “Hei, bukan kesini jalannya, tapi kesana.”

Aku terdiam membacanya. Setiap kali aku membaca tulisan yang mampu mewakili perasaan, tidak ada keraguan bagiku untuk mengucapkan terima kasih kepada penulisnya. Lewat tangan-tangan ajaibnya lah, setiap tulisan mampu menusuk ke dalam sukma dan melepaskan energi negatif yang terkurung di dalamnya. Meski perasaanku masih diselimuti oleh rasa takut akan kehilangan, sejatinya penerimaan adalah sebuah keharusan.

Bandung dengan udaranya yang sejuk membuatku merasa nyaman setiap kali berkesempatan untuk singgah. Dan malam ini semesta memperlihatkan keindahan langit yang berpayungkan hujan. Sejuk udara yang terbawa oleh gelombang air hujan menjelma menjadi semakin dingin tak tertahankan. Jaket kulit tebal dan secangkir kopi panas belum cukup untuk mengalahkan dinginnya kota Bandung malam ini. Sesekali aku berbincang dengan beberapa pengunjung warung untuk sekedar bertukar cerita. Mencari kehangatan di setiap perbincangan, terlebih dengan orang-orang yang baru dikenal.

Tepat pukul 8 malam, seluruh rangkaian pengobatan bapak sudah selesai. Terlihat Ibu membawa beberapa ramuan obat tradisional yang dibungkus dengan plastik hitam. Dan bapak masih terlihat menahan sakit sebagai efek dari pengobatan tersebut. Kami memutuskan untuk bermalam di rumah saudara yang tidak jauh dari tempat bapak berobat. Mengingat malam yang sudah semakin larut dan hujan semakin deras.

Tak perlu waktu lama untuk kami tiba di kediaman bibi Lina, adik sepupu dari ibu yang kini menetap bersama keluarga kecilnya di pinggir kota Bandung. Mereka menyambut kedatangan kami dengan penuh kehangatan. Menyiapkan jamuan makan malam, serta memberi ruangan yang nyaman sebagai tempat kami beristirahat.

Setelah selesai menyantap hidangan makan malam, Ibu dan Bapak pamit untuk segera beristirahat. Lelah nampak terlihat di wajah keduanya. Terlebih, besok pagi-pagi sekali kami sudah harus kembali pulang ke rumah. Tidak tega rasanya meninggalkan adik-adik terlalu lama. Sementara, aku masih ingin menikmati suasana Bandung yang selalu menyenangkan untuk dikenang. Aku kemudian terduduk di kursi balkon lantai dua. Menikmati kemegahan langit yang masih tertutup oleh awan-awan hitam pendamping hujan.

“Assalammu’alaikum, Saka. Gimana kabarnya?” Sebuah pesan bertengger di layar ponselku. Senyum secara sukarela tercipta saat mengetahui bahwa pesan tersebut adalah pesan yang dikirimkan oleh Lara.

“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, baik.”

“Alhamdulillah. Aku mau sampein sesuatu ke kamu. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.”

DEGGG!!!

Aku terdiam membaca pesan tersebut. Sebelum akhirnya, semua pertanyaan yang selama ini merajai isi kepala mendapatkan jawabannya.

“…Selama ini, aku memang sengaja ga ada kabar sama sekali. Itu semua karena aku butuh waktu untuk ambil keputusan. Dan sekarang aku udah nentuin apa yang terbaik yang harus aku pilih. Aku udah pikirin ini baik-baik. Aku rasa, hubungan kita cukup sampai disini aja ka. Semuanya sudah selesai. Aku minta maaf kalau selama ini aku ada salah. Aku minta maaf kalau hubungan yang selama ini kita jaga, harus berakhir dan selesai sampai disini. Aku harap kamu bisa mengerti dan menerima. Aku pamit ya, Saka.”

Petir sepertinya baru saja menyambar dadaku. Lara secara sempurna telah mengobrak-abrik isi perasaan yang sudah lebih dulu kacau. Sukma mendadak liar saat membaca sepotong kabar yang hadirnya sudah aku nantikan. Aku terdiam, degup jantung berdetak semakin cepat, hembusan nafas semakin tidak teratur. Bukan kabar seperti ini yang aku harapkan.

“Kenapa ra? Kenapa tiba-tiba kamu minta udahan?”

Berkali-kali aku coba mencerna dimana letak salahnya. Tidak ada alasan yang cukup jelas untuk aku bisa menerima semua ini. Perkataan Lara tidak bisa aku cerna dengan baik. Sulit untuk dipahami. Satu-satunya hal yang harus diperbuat adalah meminta penjelasan darinya. Tentang alasan-alasan yang mengantarkan dirinya pada keputusan ini.

“Lara, don’t do this. Please tell me the truth.”

Pada sepotong pesan yang kukirim padanya, aku memohon penjelasan yang layak. Apa salah yang sudah kuperbuat? Mengapa Lara tega memberikan keputusan secara sepihak? Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik?

Lara sepertinya sedang tidak ingin berdebat. Semua pesan yang kukirimkan menjadi tidak semenarik itu untuk dibalas, bahkan untuk sekedar dibaca sekalipun. Tidak ada satu pun panggilan telepon yang bisa sampai pada telinganya. Aku sedikit mengepal tangan. Emosi sudah membumbung tinggi, kesal sudah terlanjur merajai sukma.

Luka yang sedang membabi-buta dalam dadaku tidak dapat lagi aku kendalikan. Aku tidak kuasa dengan apa yang sedang kurasa saat ini. Kepalaku mulai terasa berat. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengarahkan kepala ke atas sambil menatap langit yang sedang ikut bersedih. Sepertinya semesta sedang memahami bahwa salah satu penghuninya tengah dirundung duka. Awan pun turut bersedih bersamaan dengan air hujan yang berjatuhan.

Kemegahan langit Bandung yang sedang kutatap mendadak berubah menjadi lanskap sempurna layaknya sebuah layar yang sangat lebar. Memori tentang Lara datang silih berganti memenuhi setiap sudut langit. Membawaku kembali pada setiap kenangan manis bersamanya. Rasanya, aku ingin sekali memeluk Lara, untuk yang terakhir kalinya.

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Diriku masih belum menerima semua hal yang baru saja terjadi. Jelas, ada yang sedang terang-terangan disembunyikan Lara. Dan besok, aku akan segera menemuinya. Mencari tahu letak salah yang sebenarnya.

~

“Assalammu’alaikum.” Salam yang kuucap tepat di depan rumah Lara. Sudah lama rasanya aku tidak berkunjung ke tempat dimana aku bisa mengenal Lara lebih jauh. Dan sekarang, aku kembali ke tempat ini. Tentu dengan tujuan untuk menemuinya.

“Wa’alaikumsalam.” Hanya berselang beberapa detik, salamku sudah mendapat jawabannya. “Eh, nak Saka. Ibu kira siapa.”

“Iya, bu. Ibu apa kabarnya? Udah lama Saka engga ketemu Ibu.”

“Alhamdulillah nak, Ibu sehat. Kamu pasti kesini mau cari Lara ya?” Belum sempat aku menyatakan maksud kedatanganku, beliau sudah lebih dulu menebaknya dengan tepat. Lalu, ia mengajakku untuk melanjutkan pembicaraan di ruang tamu.

“Iya, bu. Laranya ada?”

“Kebetulan, siang tadi Lara sudah berangkat ke kosan. Besok ada kuliah pagi katanya. Terus dilanjut sama jadwal ngajarnya sampai siang.” Mendengar Lara sedang tidak ada dirumah membuatku kembali merasakan kekecewaan. Jawaban yang seharusnya kudapati hari ini masih harus tertahan oleh jarak dan waktu.

“Oh yasudah bu kalau gitu. Biar besok Saka temuin Lara aja di kampus.”

“Nak Saka, boleh Ibu tanya sesuatu?” Beliau menatapku lirih. Seperti ada yang sedang dirasa.

“Boleh bu.” Aku menjawabnya singkat.

“Ibu lihat, sejak dua hari yang lalu, Lara lebih banyak diam di kamar. Dan semalam Ibu dengar Lara nangis di kamar kakaknya. Ibu rasa, ini ada hubungannya sama nak Saka. Beberapa kali Lara sebut nama kamu sambil larut sama tangisannya.” Dalam dadaku ombak bergemuruh. Aku terkejut dengan apa yang baru saja kudengar. “Sebenarnya, ada apa ya nak Saka?”

“Saka bingung bu harus jawab apa. Saka juga masih belum paham Lara kenapa. Yang Saka tahu, semalam Lara baru aja mutusin untuk udahan. Dan Saka datang kesini juga mau tanya langsung sama Lara. Alasan apa yang bikin lara mutusin untuk selesai.”

“Jadi, kalian sekarang udah gak sama-sama lagi?”

“Iya bu. Tapi dengan dengan alasan yang masih belum pasti.”

“Yasudah nak. Ibu engga akan ikut campur sama hubungan kalian. Tapi, Ibu titip pesan sama nak Saka. Kalau semisal kalian masih terus lanjut, Ibu titip Lara ya nak. Tolong jaga dia sebaik mungkin. Sejauh ini, nak Saka gak pernah ngecewain Ibu, apalagi Lara. Tapi, kalaupun memang kalian harus selesai, Ibu harap kalian masih bisa ngejaga silahturahmi ya.” Diriku dibuat bergetar. Sosok Ibu yang sedang berada di hadapanku saat ini, persis seperti malaikat kecil yang kupunya di rumah. Selalu penuh ketenangan dan kedamaian setiap kali memberikan nasihat. Aku bersyukur Ibu dari Lara selalu menerimaku dengan baik, tanpa pengecualian.

“Saka janji sama Ibu. Saka akan selalu jagain Lara, sebagai apapun Saka di hidupnya nanti.”

Percakapan singkat ini ditutup oleh senyum yang saling meneduhkan. Yang mungkin tidak akan pernah lagi kudapati di waktu-waktu selanjutnya.

Perpisahan memang akan selalu terjadi. Ia akan datang jika waktunya sudah tiba. Bahagia yang selama ini dirasa pun akan ikut berpulang. Digantikan oleh sisa-sisa memori yang berisikan luka dan duka. Semua hal yang kita miliki saat ini hanyalah sebuah titipan. Yang perlu kita sadari adalah bagaimana mensyukuri dan memaknai setiap pertemuan. Memberi kuasa pada penerimaan sebagai sebuah keharusan.

Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, kapan sesuatu itu akan terjadi. Kita tidak bisa menerka-nerka semua yang hadirnya masih samar. Yang bisa kita lakukan adalah mulai bersiap untuk menerima segala ketetapan-Nya. Yang hidup pasti akan mati. Yang datang kelak akan pergi. Kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun. Manusia hanya bisa berencana, berdoa dan berusaha. Selebihnya, hanya Tuhan Yang Maha Tahu perihal garis takdir kita akan seperti apa.

~

Aku sampai di Jakarta sekitar pukul 11. Tepat di depan sebuah bangunan kecil tempat Lara bekerja. Sudah hampir satu tahun ia dipercaya menjadi pengajar di sebuah lembaga yang letaknya tidak jauh dari kampus. Satu hal yang memang ia senangi selepas menyelesaikan perkuliahan. Terlebih ia mendapati kelas anak-anak yang selalu membuatnya bersemangat.

Langkah kaki mulai kuarahkan menuju pintu masuk. Terlihat hanya ada beberapa orang tua yang sedang menunggu anaknya selesai belajar. Serta seorang resepsionis yang sering kujumpai setiap kali aku mengantar Lara.

“Mas, mbak Lara udah selesai ngajar belum ya?”

“Mbak Lara…” Ia kemudian melihat ke arah layar komputer. Membuka dokumen yang berisikan jadwal mengajar. “…Mbak Lara masih ngajar mas. Baru selesai jam 12.”

“Oh yaudah kalau gitu. Saya tunggu aja sampai mbak Lara selesai ngajar.”

“Oh ya boleh silahkan mas.”

Aku memberikan senyum sebagai tanda terima kasih.

Jam masih menunjukkan pukul 11.15. Masih tersisa waktu yang cukup lama untuk aku menunggunya selesai mengajar. Tapi tak apa, setidaknya hari ini aku bisa menemui dan berbicara langsung dengannya. Aku harus menyelesaikan semuanya. Sudah cukup rasanya aku menyakiti diri sendiri bahkan membohongi nurani.

Kunyalakan ponsel dan mulai menikmati alunan lagu yang kudengar lewat sepasang headset. Mengusir rasa bosan yang mungkin saja singgah. Membunuh setiap detik waktu yang sedang memburu. Setiap bait lagu yang kudengar selalu terselip makna yang mendalam. Pesan-pesan di dalamnya selalu bisa tersampaikan dengan baik. Mulutku tidak henti-hentinya mengucap lirik demi lirik pada setiap lagu.

     ♫♫♫
     Ingatkah kau saat itu?
     Kau tersenyum kepadaku
     Berbekal senyuman itu
     Kujalani hidup

Hingga akhirnya aku mematung sejenak pada salah satu lirik dari lagu The Rain – Hingga Detik Ini. Lirik tersebut mengingatkanku pada masa dimana senyuman Lara selalu mampu memberikan ketenangan. Setiap masalah yang kucurahkan padanya selalu kalah oleh manis senyuman yang melengkung sempurna di wajahnya. Tidak ada keraguan lagi bahwa Lara memang masih menjadi satu-satunya yang paling mengerti aku. Mungkin, ia masih akan tetap jadi yang terbaik sampai kapanpun.

KRINGGG!!! KRINGGG!!!

Bunyi bel menandakan bahwa pembelajaran siang itu sudah selesai. Para orang tua yang sedari tadi menunggu sudah bersiap menyambut anak-anak mereka. Kebanyakan adalah para ibu yang rela menyisihkan sebagian besar waktunya untuk menemani sang anak belajar. Satu persatu siswa mulai keluar dari kelasnya masing-masing. Diikuti oleh para guru yang baru akan keluar setelah tidak ada lagi siswa di dalam kelas.

Rasanya, aku sedang turut serta menjadi mereka yang sedang menunggu kehadiran seseorang. Menanti sebuah kedatangan yang selalu bersembunyi di balik sebuah penantian. Mataku tidak terlepas dari lorong-lorong ruang kelas. Mencoba memperhatikan Lara yang belum juga terlihat hadirnya. Ada perasaan yang tidak biasa saat ini. Tubuhku bergetar. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kenapa ini? Apa aku gugup? Kenapa aku harus gugup menyambut seseorang yang selama hampir 1 tahun ini menemaniku?

Akhirnya kudapati wajah Lara yang sedang terkejut saat mata kami saling tatap. Aku memberikan senyuman sebagai tanda sapa padanya. Namun, senyumanku kali ini tidak mendapat balasan seperti biasanya. Ia hanya sedikit mengangguk, lalu perlahan menghampiriku.

“Hai.” Sapaku gugup. Lara hanya tersenyum. Dadaku masih berdegup kencang. “Kamu udah makan siang?” Aku bertanya gugup. Dirinya hanya menggelengkan kepala karena memang sudah pasti ia belum sempat untuk makan. Pertanyaan bodoh yang baru saja kuberikan akibat dari rasa gugup.

“Kamu mau ngapain kesini?”

Lara memberikan pertanyaan dengan pembawaan yang sangat dingin. Tidak biasanya Lara bersikap seperti ini. Yang aku tahu, ia hanya akan bersikap dingin saat bertemu dengan orang baru. Apa aku ini sudah kau anggap sebagai orang baru di hidupmu?

Aku masih saja dinaungi oleh perasaan gugup. Pertanyaan Lara membuatku kebingungan harus memulai dari mana. Hal-hal yang ingin aku sampaikan mendadak luput dari ingatan.

“Aku kesini karena aku rindu sama kamu. Aku pingin ngobrol banyak sama kamu, tentang kejadian kemarin, tentang keputusan kamu untuk pergi. Kalau memang aku salah, aku minta maaf. Lara, aku bener-bener minta maaf.”

Lara masih saja terdiam. Ia menatapku sinis, seperti ada amarah yang ingin segera diluapkan.

“Untuk apa kamu minta maaf? Percuma, semuanya udah selesai. Kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi.” Lara terdengar sangat sinis.

“Ra, please! Kita udah sama-sama dewasa. Enggak gini caranya. Aku ga paham kenapa kamu tiba-tiba pergi tanpa ada penjelasan.” Aku memohon. Mencoba memintanya menjelaskan semua ini.

“We are done, Saka.” Lara memperjelas perkataannya dan menatapku dalam.

Ada yang baru saja menancap di dadaku. Rasa gugup yang sedari tadi kurasa menjelma menjadi rasa sakit mendengar perkataannya. Aku merasa sangat terluka, tanpa tahu pasti penyebabnya.

“Maksudnya apa sih? Apa ini ulah kakakmu? Apa ini semua karena ketidaksukaannya padaku?” Aku sedikit meninggikan suara. Emosiku sudah tidak bisa terkendali lagi. Lara terdiam dan hanya menatapku. Sebelum akhirnya memalingkan wajahnya. Mencoba menyembunyikan air mata yang tengah menanti untuk jatuh di pelupuk matanya.

“Kamu ga akan ngerti sama semuanya, ka.”

Tell me, ra. Gimana aku mau ngerti kalo kamu ga ngasih penjelasan sama sekali. Aku ini manusia, ra. Aku juga punya perasaan.”

“Apa kamu bilang? Kamu punya perasaan? Lalu, dimana letak perasaan kamu waktu aku lagi berjuang pertahanin hubungan kita? Dimana?” Lara sudah tidak bisa lagi membendung tangis yang sedari tadi coba ia tahan.

“Ra…”

“Dimana kamu waktu aku lagi berdebat sama kakak. Memang, kakakku gak pernah suka sama kamu. Dia gak suka sama hubungan kita. Tapi, aku berusaha sekuat yang aku bisa untuk pertahanin hubungan ini. Aku sampe ribut sama dia. Jujur, aku kecewa sama kamu. Aku kecewa sama janji kamu waktu itu. Kamu bilang, kamu gak akan pergi dan ninggalin aku berjuang sendirian. Tapi, nyatanya kamu hilang tanpa satupun kabar. Ga ada ketenangan yang bisa aku dapetin dari sosok kamu yang selama ini aku harapkan. Dan, sekarang apa yang aku dapet? Aku cuma dapet omong kosong dari seorang pengecut kayak kamu. Aku rasa ini keputusan yang tepat.”

Cerita Lara membuatku kehabisan akal untuk berkata-kata. Ternyata, Lara sudah berjuang untuk mempertahankan hubungan ini sekuat tenaga. Ia coba memberikan pembelaan atas aku yang hanya bisa diam tanpa memberikan satu pun tindakan. Aku masih menatapnya penuh kekhawatiran. Kerapuhan begitu terpancar dari air matanya yang membasahi pipi.

Lara merasa terluka. Ia sangat kecewa atas kegagalanku memahaminya. Namun, aku masih saja belum bisa menerima keputusan ini. Aku berusaha meyakinkannya untuk tidak segera mengakhiri hubungan ini.

“Kasih aku kesempatan untuk ngejelasin semuanya, ra” Aku kembali memohon padanya. Permohonan yang tidak pernah aku lakukan pada siapapun.

“Cukup, ka. Udah ga ada lagi yang perlu dijelasin. Semuanya udah selesai sampai disini. We are done!!!” Lara kemudian beranjak dari kursi, sambil menyeka air mata yang masih menggelayut di pipi.

Ra, wait. Kasih aku kesempatan sekali lagi ya.”

Aku mencoba meyakinkan Lara. Jika ia masih memberiku kesempatan, maka akan kujelaskan semuanya. Jika tidak, aku harus menerima semuanya. Meski secara terpaksa.

Lara menghela nafas dalam sebelum akhirnya memberikan pernyataan. “Aku rasa, semuanya udah jelas. Aku ga perlu lagi dengerin penjelasan kamu. Aku mau pulang.”

Aku menahan tangannya. Kami saling tatap beberapa saat. Tatapan yang jelas-jelas berisikan luka. Lara menepis tanganku yang sedari tadi menahannya. Lalu, berbalik menuju pintu keluar.

“Aku antar pulang.”

“Gak usah. Aku bisa sendiri.”

“Lara, one last ride.” Lara hanya mengangguk, mengiyakan ajakanku tanpa sepatah kata terucap.

Aku segera menuju area parkir. Tatapanku masih kosong. Aku masih belum mempercayai apa yang barusan terjadi. Apa yang baru saja aku alami. Rasanya, masih seperti diburu oleh mimpi buruk mendapati kenyataan bahwa Lara benar-benar ingin mengakhiri hubungan ini.

Setibanya di tempat kos, aku meminta sedikit waktu pada Lara. “Ra, sebelum kita benar-benar selesai. Sebelum aku pamit, boleh aku minta sesuatu dari kamu?” Lara kemudian menatapku.

“Apa?”

“Tiga hari yang lalu, tepat setelah kita pulang dari Chemistree, ayah kecelakaan. Tangan sebelah kanannya patah dan harus dioperasi. Itu alasan aku ga ada kabar sama sekali. Doain ya supaya ayah bisa cepet sembuh.” Kedua mata kami saling bersitatap. Sepotong senyum kuberikan sebagai penutup dari rangkaian peristiwa hari ini. Semoga Lara, masih bisa menjadi Lara yang seutuhnya.

“Udah itu aja. Aku pamit ya. Assalammualaikum.”

     Kamu adalah rasa, yang aku suarakan dalam aksara.
     Kamu adalah puisi, pada bait yang saling mengisi.

     Teruntuk Lara, yang dulu pernah ada aku di dalamnya.

     Kita pernah menjadi sepasang suka.
     Kita pernah mengukir potongan duka.
     Pada sepi yang tak lagi sunyi.
     Pada diri yang tak lagi berpenghuni.

     Hadirmu telah banyak mencipta kenangan.
     Semesta tak lagi utuh menyampaikan pesan.
     Yang membuat kita percaya pada rasa.
     Yang membuat kita kembali terbiasa, diatas penerimaan, bukan pilihan.

     Memilikimu, telah mencipta banyak penerimaan.
     Kehilangan, telah memberi ruang pada pemahaman.

     Terima kasih, telah membiarkanku tetap memiliki.
     Sebagai apapun kamu di hidupku.
     Sebagai apapun aku di kelopak matamu.

Tanda Tanya Tanpa Jeda

     Sesekali ingin berteriak sekencang-kencangnya
     Pada bising yang tak lagi sunyi
     Sesekali ingin singgah selama-lamanya
     Pada ruang yang tak lagi berpenghuni

     Aksara tak pernah begitu mudah tercipta
     Suara tak pernah terasa begitu nyata
     Hingga akhirnya kamu hadir sebagai penyelamat
     Mencipta mimpi yang dahulu sulit digapai
     Menggantungkan harapan yang dahulu enggan aku sematkan

     Aku pernah,
     Bercerita tentang mimpi-mimpi yang terlampau tinggi
     Aku pernah,
     Berkeluh kesah perihal semua suka dan duka yang menjelma
     Tapi, kemudian kamu pergi, menghilang tanpa alasan
     Membawa mimpi yang kugantungkan penuh harapan
     Beberapa mimpi, yang ada sebab kamu

Lagi, aku merasakan ada yang sedang mengganggu sukma, mengoyak nurani, mengobrak-abrik semua rasa yang datangnya tanpa sapa. Tanda tanya tanpa jeda yang baru saja digaungkan cukup untuk mengganggu seisi pelataran pikiran. Jendela tanda tanya menganga sangat lebar, memberi ruang pada setiap kemungkinan yang hendak masuk tanpa permisi.

Lara masih saja menatapku tajam, meski pikirannya sudah bisa dikendalikan. Manik matanya menampakkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan hanya dengan diam. Ada khawatir yang mendadak memuncak dan tak bisa dikendalikan. Apa yang ia rasakan saat ini adalah cerminan dari apa yang pernah aku rasakan beberapa waktu yang lalu. Tentang besarnya rasa takut akan kehilangan. Tentang persona yang akan meninggalkan atau ditinggalkan.

Aroma hujan yang sedari tadi mengguyur kota Jakarta perlahan sudah tidak tercium lagi. Hanya ada sisa-sisa tetesan air yang membasahi jendela di setiap sisi kedai kopi. Ditambah embun yang mulai muncul dari pendingin ruangan yang tidak pernah berhenti menyala. Lalu, dingin menjelma menjadi utusan sapa kepada dua persona yang sedang saling tatap tanpa sepatah kata terucap.

“Ra, aku rasa akan jauh lebih baik kalau sekarang kita nenangin pikiran masing-masing. Kita sama-sama belum tau apa yang sedang terjadi. Apa yang sebenarnya kakakmu inginkan saat ini.” Lara masih saja terdiam dengan tatapan kosongnya. Wajahnya sedikit tertunduk lesu. Jemari tangannya tidak henti-hentinya bergerak tanpa arah yang jelas. “Look at me, Lara.” Aku kembali bersuara.

“Aku tau sekarang kamu lagi khawatir. Kamu lagi bingung sama perasaan dan pikiran kamu sendiri. Tapi ra, satu hal yang harus kamu inget. Ini bukan tentang kamu dan kakakmu saja. Tapi, ini tentang kita. Tentang perasaan yang selama ini kita jaga baik-baik. Tentang hubungan yang masih harus diperjuangkan, bagaimanapun caranya.” Lara menaikkan dagunya, kembali memberikan tatapan yang sepenuhnya berisikan kekhawatiran.

Kucoba meraih tangan Lara, meletakkan telapak tanganku diatas punggung tangannya. “Kamu gak sendiri ra. Setidaknya untuk saat ini. Kalau memang ini akan jadi masalah yang pelik, diam dan mundur bukan pilihan yang akan aku ambil. Seperti yang selalu aku bilang setiap kali kamu sedang ada masalah ‘I stand behind you’. I always stand behind you ra, I promise.

“Aku takut ka. Aku takut kalau harus dipaksa pergi dari kehidupan kamu. Kamu orang yang selalu bisa aku berikan pengecualian dari setiap ego yang terkadang ingin selalu menang. Kamu yang selalu bisa bikin aku ngerasa lebih dari apapun. Aku takut sama semua kemungkinannya nanti.”

Aku mengehala nafas panjang sebelum menjawab kalimatnya. “Wajar kamu punya kekhawatiran kayak gitu, aku pun sama. Tapi, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Tinggal gimana kita aja berusaha untuk cari jalan yang terbaik. Tentu, tanpa meninggalkan satu sama lain. Kita selesaiin sama-sama ya. Kita bicara baik-baik sama kakak.” Seutas senyum melengkung sempurna diwajahku, yang juga dibalas dengan senyuman seadanya dari Lara.

Sudah pukul 7 malam, hujan pun sudah mulai berhenti seutuhnya. Meninggalkan jejak-jejak kenangan pada tiap-tiap sudut jalanan ibu kota.

“Yuk pulang. Hujannya udah berhenti tuh.”

“Sebenernya, aku masih pingin lama sama kamu disini. Tempatnya enak untuk kita saling tukar cerita.”

‘Semoga kita masih dikasih kesempatan untuk bisa selalu seperti ini ra’ harapan yang secara tidak sadar aku sematkan. Berharap sampai dan didengar oleh-Nya. “Nanti kalau ada waktu, kita kesini lagi.”

Langkah kaki mulai mengarah pada pintu keluar Chemistree. Melangkah menuju kepulangan, yang aku harap jauh lebih baik dari sebelumnya. Sepotong senyum kuberikan pada seorang barista di tepi meja bar sebagai ucapan terima kasih atas green tea latte-nya yang sangat enak.

Kulihat jalanan sudah penuh dengan daun-daun yang berjatuhan. Mungkin hujan yang baru saja mengguyur kota Jakarta disertai oleh angin yang bertiup kencang. Sehingga memisahkan dedaunan dari pohon tempatnya menggantungkan hidup. Ah siapa perduli, suasana seperti inilah yang justru selalu aku rindukan selepas hujan. Jalanan yang basah, daun-daun segar yang berguguran, yang mampu memberikan ketenangan bagi siapapun yang melewatinya. Aku selalu memuja suasana seperti ini, karena selalu menjadi pengantar terbaik bagi siapapun yang melangkah, pergi ataupun pulang, tanpa bertanya kenapa.

Jarak Chemistree yang dekat, membuat kami tidak sempat berbincang panjang lebar. Hanya beberapa potong kalimat, yang lebih banyak tentang saling tukar perhatian. Hingga akhirnya, kami sudah tiba di tempat tujuan.

“Aku langsung pamit ya. Udah janji sama mama gak pulang larut malem.” Tiba-tiba, Lara menahanku. Tangannya sudah tepat menggengggam lengan sebelah kiriku. Sontak saja hal tersebut membuatku sedikit terkejut dan menatapnya penuh tanya.

“Saka.” Ia menyebut namaku lirih.

“Kenapa?” Beberapa detik kemudian aku menjawabnya dengan suara yang samar, terhalang oleh masker yang sudah terlanjur kupakai.

“Kamu janji ya engga akan pergi? Gak akan ninggalin aku berjuang sendiri sama masalah ini?”

“Selama kamu masih percaya sama aku, selama itu juga aku engga akan ingkar sama janjinya.” Lagi, selengkung pelangi terbentuk dibawah hidungnya. Yang kali ini jauh lebih indah.

“Yaudah. Kamu hati-hati ya. Kabarin kalau udah di rumah.”

“Siap tuan putri. Aku pamit ya. Assalammualaikum jangan?” Dua pasang mata kaca, lalu saling menghidupi lewat tatap. Bibirku segan menggerutu, bergeming utuh terpikat pada jerat senyumannya. “Wa’alaikumsalam.”

Lara menghiasi senyumanya yang justru mengundang banyak pertanyaan dan keinginan. Lambaian tangan yang kuberikan bukanlah sebuah perpisahan, melainkan sebuah permohonan untuk pertemuan selanjutnya.

Kuda besi yang baru saja menjalankan tugasnya mengantar tuan putri, sudah siap kembai berpetualang menyusuri hiruk pikuk jalanan ibu kota. Lewat sepasang kaca spion, aku masih bisa dengan jelas melihat Lara yang sedang berdiri di tepi jalan. Rupanya, ia masih saja memperhatikan aku yang lambat laun menjauh darinya. Semakin jauh, bayangan Lara semakin mengecil dan akhirnya tidak terlihat lagi.

Dengan suasana seperti ini, akan butuh waktu lebih lama untuk tiba di rumah. Sebab, jalanan sedang ramai-ramainya dihuni oleh para pekerja yang baru saja menyelesaikan tugasnya di kantor. Mereka baru memiliki kesempatan untuk pulang setelah hujan benar-benar mereda. Saut paut bunyi klakson dan suara mesin-mesin kendaraan menjadi teman sepanjang perjalanan. Memberikan kehangatan tersendiri saat udara dingin mulai menusuk menembus pori-pori jaket yang kupakai setiap kali berkendara.

Kelap-kelip lampu jalanan yang sudah usang turut serta menemani perjalananku malam itu. Semakin syahdu aku dibuatnya kala harus kembali mengingat masalahku dengan Lara. Aku menarik nafas panjang, berharap semua oksigen yang kuhirup dapat menghilangkan resah yang sedari tadi ingin menganggu pikiranku. Aku coba menenangkannya namun rasanya aku harus berlaku bijak. Satu pertanyaan kupersilahkan menyusup ke dalam benakku, yang mendadak meledak memenuhi isi kepala.

“Semua ini akan berakhir seperti apa, Saka?”

Mataku membesar. Tatapanku kosong. Pertanyaan yang kupersilahkan untuk hadir nyatanya malah menjadi sebuah penyesalan yang kucipta dengan sengaja. Pertanyaan yang kurasa akan sulit untuk dicari jawabannya, meski perjalanan pulang masih sangat panjang. Langit tanpa bintang yang sedari tadi kupandang tak mampu memecah masalah. Bahkan, ia tidak cukup kuat untuk meredam perasaan resah yang menyeruak memenuhi seisi kepala.

“Setelah ini, bersiaplah untuk kemungkinan-kemungkinan baru, Saka.”

Belum selesai dengan pertanyaan yang membuat kepala sakit, suara abstrak yang terdengar samar seketika muncul entah dari mana. Mungkin ini adalah peringatan dari rasa khawatirku yang semakin meninggi. Atau ketakutan-ketakutan yang terlalu berlebihan. Entahlah, aku masih belum tahu pasti. Yang kutahu, saat ini isi pikiranku sedang penuh. Tak ada yang bisa meredakannya selain bercerita pada Ibu. Lalu, menuangkannya dalam coretan tinta hitam diatas kertas putih.

Bagiku, menulis adalah caraku menyuarakan rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan suara. Barisan diksi yang aku tuangkan dalam lembaran kertas polos mampu memberikan kebebasan atas segala resah yang menjelma. Aku menulis sebagai upaya untuk menyebuhkan luka, serta menghapuskan beberapa duka. Pada akhirnya, aksara yang tercipta berbaris rapih menjadi perlindungan serta terapi untuk diri sendiri. Aku bisa merasa lega setelah berhasil megurai seluruh kekhawatiran pada sebuah tulisan yang kadang aku tak merasa pernah menuliskannya. Menulis, membuatku tetap merasa hidup. Ia hadir sebagai sebuah ketenangan. Sebagai obat untuk pulih, tumbuh, lalu merekah.

     Menghapus tinta yang pernah kau lukis di kanvas hatiku…
     Merobek semua bayangan yang tampak di relung sukmaku…

Sesaat ketika melewati salah satu kedai kopi, terdengar potongan lagu dari Dialog Senja yang berjudul Lara. Lagu yang memang sering kali terdengar di kedai kopi manapun. Entah karena memang lagunya yang enak di dengar atau karena pesan mendalam yang ingin disampaikan. Perihal seseorang yang pergi meninggalkan duka tanpa tahu pasti akan berakhir seperti apa pada pihak yang ditnggalkan. Tentang persona yang dipaksa untuk pergi menjauh meski ego seringkali inginnya kembali.

Aku tersenyum sambil melanjutkan potongan lirik tersebut dengan suara yang terdengar samar. Mencoba menghibur diri dari penatnya hiruk pikuk lalu lintas pikiran. Aku percaya, akan kutemukan jalan keluar dari permasalahan ini. Dan aku pun masih percaya, Lara tetap akan selalu ada sebagai sebuah perlindungan. Seperti arti dari nama yang disematkan oleh kedua orang tuanya.

Aku teringat dengan cerita yang pernah Lara utarakan. Ia pernah berceloteh bahwa setiap kita adalah ruang, pada sebuah kepergian atau kehilangan. Kepergian dari peristiwa yang disengaja atau yang tiba-tiba pergi dan hilang tanpa aba-aba. Sebagai manusia, kita hanya perlu terbiasa dengan semua benar yang hadir. Terbiasa untuk menerima dengan tangan terbuka pada setiap pertemuan. Dan bersedia kembali melepas genggaman pada sebuah kepergian. Karena pada hakikatnya, mereka yang tetap tinggal adalah sebuah perlindungan bagi orang-orang yang memilih untuk pergi.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.50 WIB. Suasana jalanan masih tampak ramai bersamaan dengan orang-orang yang yang sedang asyik bercengkrama. Sesaat lagi aku akan sampai pada tujuan akhir, rumah. Sembari menghirup udara segar yang diproduksi oleh pepohonan di sepanjang jalan, aku berterima kasih pada pemilik semesta atas kuasa-Nya malam ini. Kepulanganku nampak begitu lancar tanpa ada hambatan sedikitpun. Hal sederhana yang layak untuk disyukuri dengan teramat.

Tepat pukul 8 malam, aku sudah tiba di depan rumah. Tampak gelap seperti sedang tidak ada satu orang pun di dalamnya. Kulihat lampu di bagian teras masih belum dinyalakan. Pintu pagar pun tertutup rapat dikunci dengan gembok besi. ‘Mungkin mereka sedang keluar sebentar’ pikirku. Segera kuambil handphone yang sedari tadi sengaja kumatikan dan disimpan dalam tas. Berharap ada pesan perihal kemana mereka semua sedang pergi.

“Mas Saka.” Belum sempat aku membuka tas, terdengar suara dari salah seorang tetanggaku, Fajar. Ia bergegas menghampiri aku yang masih duduk di atas motor.

“Iya jar, kenapa?”

“Loh mas Saka kenapa ada disini?” Ia lalu bertanya sembari mengerucutkan dahi. Menampakkan kebingungan di raut wajahnya.

“Iya baru pulang dari kampus.”

“Mas Saka emangnya engga dikasih kabar sama orang rumah? Bapaknya mas Saka tadi di bawa ke rumah sakit.”

DEG!!!

Aku terkejut mendapati pernyataan yang baru saja kudengar. Jantungku masih dalam keadaan setengah terhenti, ketika aku mendapati pesan yang kubaca di layar handphone. ‘A Saka, cepetan pulang! Bapak masuk rumah sakit.’ Ternyata, sedari tadi sudah ada beberapa pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari adik, juga Ibu. Kabar mengejutkan yang cukup untuk membuat aku mematung beberapa saat sebelum akhirnya kembali bersuara.

“Bapak dibawa ke rumah sakit mana jar?”

“RS Premier, mas. Tadi dianter sama pak Ridwan.”

“Makasih informasinya jar.”

“Iya mas.”

Aku segera menuju rumah sakit yang dimaksud oleh Fajar, hendak melihat kondisi bapak yang tiba-tiba saja harus mendapati pengobatan. Padahal, yang aku ingat, pagi sebelum aku berangkat ke kampus, bapak masih tampak sehat-sehat saja. Ia masih berolahraga ringan seperti biasanya. Menyesap secangkir teh hangat sambil bersantai di sudut teras rumah.

Tuhan memang selalu punya cara untuk menunjukkan kuasa-Nya. Belum genap satu minggu sejak kepulanganku yang tidak begitu baik, aku kembali dihadapkan dengan hal yang tidak aku ingin. Bukan kuasaku memang untuk menolaknya. Tapi, untuk diterima pun rasanya aku sudah kehabisan tenaga. Garis takdir Tuhan memang tidak pernah bisa ditebak. Hari ini kita merasakan bahagia, esok bisa jadi Tuhan memberi cobaan tanpa diduga. Kita hanya sedang diingatkan untuk mensukuri apa yang kita miliki saat ini, pun mengupayakan apa yang kita harapkan di kemudian hari.

Sesampainya di rumah sakit, aku bergegas beranjak menuju ruang UGD, sebab Ibu dan adik-adik sudah menunggu sedari tadi. Sejujurnya aku merasa sangat tidak nyaman saat harus melewati lorong rumah sakit. Menyeret kembali memori saat aku harus kehilangan Lara yang dipaksa menyerah oleh rasa sakitnya. Meski itu hanya sebatas mimpi, tapi sungguh terasa begitu nyata.

Dari kejauhan, terlihat ibu dan adik-adik sedang duduk termenung di kursi. Sementara bapak sedang menjalani pemeriksaan di dalam ruang UGD. Sesekali Ibu menyeka air matanya yang terus tumpah membasahi pipi. Sama halnya dengan adik-adik yang merasa khawatir dengan keadaan bapak saat ini.

“Ma, bapak kenapa?” Ucapku diiringi nafas yang masih terengah.

Lalu, ibu menatapku lirih. Air matanya kembali jatuh tak bisa terbendung lagi. “Bapak kecelakaan, A. Sepulang kerja, bapak jatuh dari motor karena neghindarin lubang di jalan. Dari belakang ada motor lain yang engga sengaja nabrak bapak.”

“Mama tenang ya. Sekarang ada Saka disini.” Ucapku, diiringi pelukan yang aku harap bisa sedikit menenangkan.

Kami duduk diatas keheningan yang tercipta. Menanti hasil pemeriksaan dengan perasaan yang tak menentu. Sambil berharap semua akan baik-baik saja.

Detik waktu terus berjalan, bersamaan dengan perasaanku yang semakin tidak karuan. Aku kembali memikirkan tentang bagaimana semua hal buruk ini bisa hadir begitu saja. Semua hal yang tidak aku ingin, yang bertubi-tubi datang menghampiri. Apa ada yang salah denganku? Apa aku sudah mengecewakan sang pemberi kehidupan, sehingga aku dihakimi dengan cobaan seperti ini? Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan sialan itu kembali menggema. Menyuarakan kebingungan serta ketakutan, yang kali ini datang secara bersamaan. Ah sial, aku harus bisa meredam seluruh suara riuh dalam kepalaku. Mengingat, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan pikiranku sendiri. Aku harus menjadi Saka yang teguh di hadapan Ibu.

KLAK!!!

Pintu ruang UGD setengah terbuka. Seorang dokter dengan pakaian berwarna putih berdiri sambil tangan sebelah kanannya tetap memegang kenop pintu. “Silahkan masuk, hasil pemeriksaannya sudah selesai.” Tandasnya. Aku dan Ibu segera mengikuti arahannya. Meninggalkan adik-adik untuk tetap menunggu di luar ruangan.

“Bagaimana dok hasilnya?” Aku lebih dulu bersuara sebelum dokter memberi penjelasan.

“Alhamdulillah hasilnya tidak terlalu buruk. Hanya saja, ada sedikit keretakan di lengan sebelah kanan. Harus segera dioperasi untuk pemulihan lebih cepat.”

“Operasi?” Ibu sedikit terkejut dengan pernyataan dokter.

“Iya betul. Sebenarnya kalaupun tidak dioperasi tetap akan bisa sembuh. Tapi, perlu waktu yang cukup lama untuk benar-benar pulih.” Ibu kemudian menatapku tanpa sepatah kata pun. “Kalau begitu, saya diskusikan dulu dengan bapak. Mau dioperasi atau tidak.”

Aku kemudian menghampiri bapak yang masih dalam keadaan setengah sadar. Berbisik pada Ibu perihal apa yang dokter sampaikan. Aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menyampaikannya langsung pada bapak. Biar Ibu saja yang bekerja dengan ucapan-ucapannya kasih putihnya. Sementara mereka sedang berdiskusi, aku beranjak menuju bagian depan rumah sakit untuk mengurus beberapa administrasi yang perlu diselesaikan. Tak lupa, aku menyempatkan diri mengucapkan terima kasih pada pak Ridwan yang bersedia mengantar bapak ke rumah sakit. Entah hal buruk apa yang kemungkinan terjadi jika terlambat mendapatkan pengobatan.

Beruntung suasana rumah sakit malam itu tidak terlalu ramai. Sehingga aku bisa dengan cepat menyelesaikan seluruh proses administrasi dan segera kembali ke ruang UGD.

“Jadinya gimana mah? Operasi?”

“Bapak minta dibawa ke pengobatan tradisional aja. Ada di luar kota.”

“Yaudah kalau gitu Saka sekarang pulang dulu ambil mobil dan keperluan lainnya. Nanti Saka jemput dan langsung berangkat kesana.”

Malam itu juga aku pergi ke luar kota mengantarkan bapak untuk menjalani pengobatan alternatif. Sembari berharap, jalan tol yang kami lalui benar-benar menjadi jalan yang bebas hambatan.

Jendela Tanda Tanya

BRAKKKK

Seseorang tiba-tiba menendang pintu kamarku. Laki-laki tua dan kekar baru saja berdiri dihadapan pintu dengan wajah penuh amarah. Aku masih tidak sadar sepenuhnya tentang apa yang sedang terjadi. Mengapa aku tiba-tiba sudah berada di kamarku.

“Bangun kau sialan!!! Bangun!!!” Tangan laki-laki itu kini sudah berada tepat di leherku. Menghadapkan wajahnya di depan wajahku. Kini, dengan jelas aku bisa melihat luapan amarah di bola matanya yang hitam dan kian membesar.

“Ada apa ini? Kau ini siapa? Apa yang sedang kau lakukan di…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatnya, ia sudah lebih dulu menghantam wajahku dengan pukulan yang sangat keras. PLAKKK. Tepat di rahang sebelah kiri.

“Aku tidak tau siapa kau. Ada masalah apa ini sebenarnya?”

“Sudah kubilang jangan lagi dekati Lara.” Sedetik kemudian aku terdiam beberapa saat. Mencoba mencerna maksud perkataan laki-laki itu. PLAKKK. Pukulan kembali menghujam wajahku. Kini darah sudah mengalir dan membasahi kaos putih yang kupakai.

“Bicaralah baik-baik. Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.” Aku masih saja terkekeh dengan laki-laki tua ini. Mengapa ia bisa berada disini dan tiba-tiba saja meluapkan emosinya padaku. “Dasar bajingan!!!” Suara lelaki tua ini makin keras bersamaan dengan pukulan yang kali ini bertubi-tubi. “Kau ini tuli atau apa? HAH??? Sudah kubilang berkali-kali untuk menjauhi anakku.”

“Anakmu?” Jawabku lirih. Mata sudah mulai berkunang-kunang setelah beberapa hantaman pukulan yang sangat keras. “Siapa yang kau maksud anakmu?”

“Lara. Kau masih saja mendekatinya. Sudah kubilang, jangan lagi berhubungan dengan anakku. Kau hanya membawa sial baginya.”

Perlahan aku mulai bisa melihat dengan jelas situasi saat ini. Sangat kacau. Kamarku berantakan akibat perkelahian yang baru saja terjadi. ‘Kemana orang-orang di rumah? Kenapa lelaki ini bisa masuk sebegitu mudahnya?’ Pikirku dalam hati sembari menyeka darah yang tidak putus-putus mengalir.

Aku coba berdiri dan mengingat kembali kejadian yang sebelumnya terjadi. Seingatku, aku sudah mendapat izin untuk pergi dengan Lara. Dan aku pun sudah mengantarkannya pulang kembali ke tempat yang seharusnya. ‘Kenapa lelaki ini sebegitu marahnya kepadaku? Apa Lara baik-baik saja?’

“Kau tau!!! Sekarang, Lara sedang terbaring di rumah sakit. Ia tertabrak mobil saat sedang ingin menemuimu.” Luapan amarah yang sedari tadi diperlihatkan sudah mulai mereda. Sekarang, lelaki tua itu sedang menatapku tajam. Matanya kini menampakkan kesedihan yang mendalam. Derai air mata seakan ingin tumpah dari kedua bola matanya.

“Tidak. Tidak mungkin. Aku sudah mengantarnya pulang.” Aku masih saja mengelak. Yang aku ingat, Lara berpamitan untuk istirahat. Dan tidak mungkin rasanya ia pergi menemuiku saat malam seperti itu. “Kau sedang berbohong bukan?” Mendengar sanggahanku, amarahnya kembali meninggi. Tangannya sudah berada tepat di kerah kaos polos yang sudah berlumuran darah. Sambil memandangku lekat, ia coba menahan untuk tidak kembali memukulku yang sudah tidak karuan dengan luka-luka yang ada.

“Apa yang sedang kau bicarakan bajingan!!! Anakku sedang tidak sadarkan diri dan sedang koma di rumah sakit. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka. Kau harus bertanggung jawab!!!”

Tanpa sempat kembali mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi, aku bergegas lari menuju lantai bawah dan keluar rumah. Menaiki sepeda motor yang biasa aku pakai bersama Lara. “Hei, mau pergi kemana kau? Aku belum selesai berurusan denganmu laki-laki sialan!!!”

“Kau ingin aku bertanggung jawab bukan? Biarkan aku menemui Lara sekarang.”

Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan penuh, tanpa menghiraukan apapun yang ada dihadapannya. Kepala terasa sakit dan sekujur tubuhku terasa sangat kaku untuk digerakkan. Aku masih belum bisa memahami kejadian ini. Terasa begitu cepat dan mengejutkan.

Sesampainya di rumah sakit, langkahku segera kuarahkan menuju ruang operasi. Tempat dimana Lara sedang terbaring lemas. Kini, dihadapanku terlihat jelas seseorang yang sangat aku cintai sedang tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa terkulai lemah. Tubuhnya sudah dipasangi beberapa alat bantu pernapasan.

Matanya tampak layu dan setengah terbuka. Yang aku lihat saat ini, terlihat seperti bukan Lara yang aku kenal. Kebingungan masih nampak jelas diwajahku, bersamaan dengan rasa takut akan kemungkinan yang terjadi. Tapi, siapa perduli. Lara pasti kuat. Ia akan berjuang dan mengalahkan rasa sakitnya.

Di sudut-sudut ruangan, terlihat beberapa orang sedang menangis histeris. Beberapa diantaranya sedang memanjatkan doa yang paling dalam. Anehnya, aku sama sekali tidak mengenal mereka. Tidak ada satupun yang bisa aku kenali saat ini. Yang membuatku semakin kebingungan. ‘Apa benar yang aku lihat saat ini adalah Lara? Jika benar, kenapa semua ini bisa terjadi? Ada apa denganku? Mengapa aku tidak bisa mengingat semuanya?’ puluhan pertanyaan mulai bermunculan dan memenuhi seisi kepala. Makin membuatku pusing dan terasa berat untuk berdiri tegak.

BRAKKK. Pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang sedari tadi menangani Lara keluar dengan rawut wajah tidak menyenangkan.

“Bagaimana keadaan anak saya, dokter?” Terdengar suara seorang perempuan paruh baya yang masih terisak dengan tangisnya. ‘Anak?’ pikirku dalam hati. ‘Apa perempuan ini ibunya Lara? Seharusnya ia mengenaliku saat ini dan aku pun sebaliknya’.

Belum selesai aku bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak ingin segera dicari jawabannya, dokter sudah lebih dulu bersuara. “Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi anak ibu tidak bisa diselamatkan.”

“Apa maksud dokter?” Sekarang, suara perempuan itu menjadi tinggi. Tidak terima dengan pernyataan dokter.

“Lara sudah pergi meninggalkan kita semua.” Dokter melanjutkan kalimatnya.

“Tidak. Kau pasti bercanda. Lara tidak akan semudah itu menyerah. Ia adalah perempuan yang kuat.” Giliranku untuk bersuara. Menyanggah ucapan dokter yang sangat tidak ingin aku dengar.

“Kau benar. Lara perempuan yang kuat. Ia sudah berjuang. Tapi takdir berkata lain.”

Kepalaku mendadak semakin pusing dan berat. Pandangan seolah kabur dan perlahan menjadi gelap.

“Ka…Saka…Bangun nak.”

Kudapati, ibu sudah ada di hadapanku, menggoyangkan badanku, memintaku untuk segera bangun.

“Sepertinya kamu baru saja bermimpi buruk. Berteriak tidak jelas.”

Mimpi Sialan! Aku merutuk dalam hati.

“Sudah siang. Cepat mandi. Kamu ada kuliah kan?”

Ah sial, jam berapa ini? Aku harus segera bersiap untuk kuliah.

Kepalaku terasa berat untuk segera bergegas bangun dan pergi mandi. Kuputuskan untuk duduk sejenak dipinggir tempat tidurku. Sembari melihat ponsel, apakah ada hal penting yang perlu aku ketahui atau tidak. Atau sekedar pesan yang harus aku balas. Puluhan pesan dari Lara sudah muncul di layar ponselku. Sepertinya ia sedari tadi mencoba menghubungiku beberapa kali.

‘Selamat pagi Saka. Sepulang kuliah nanti, kita ketemu ya. Aku rindu.’ salah satu isi pesan darinya. Ah Lara. Baru saja aku bermimpi buruk tentangnya. Kau sudah membuatku kembali tersenyum. Semoga mimpi itu bukan pertanda yang tidak baik bagiku, juga Lara.

Langit Jakarta terlihat sedang baik-baik saja hari ini. Tidak seperti hari-hari di bulan Desember yang lekat dengan aroma hujan. Meski terik matahari nampak begitu panas, hembusan angin di penghujung tahun selalu terasa kencang dan sejuk. Waktu yang sempurna untuk mengarahkan pada tujuan selanjutnya, belajar. Dan tentunya menemui Lara.

Sepanjang perjalanan, aku masih saja memikirkan tentang mimpi yang baru saja kualami. Terlihat nyata bagiku. Membawaku kembali pada hari dimana aku dengan lantangnya berbicara tentang kehilangan. Aku berharap semua ini akan baik-baik saja.

Suara mesin-mesin mobil terdengar sangat bising di sepanjang perjalanan. Semua pengendara berebut melintasi jalanan yang semakin sempit dan padat karena adanya pembangunan. Tidak jarang suara klakson mulai bergantian dengan sautan para pengendara yang tidak sabar ingin segera tiba pada tujuannya. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi kota sepadat Jakarta. Bahkan beberapa orang mungkin rela menerobos lampu lalulintas karena tak sabar dengan kemacetan yang ada.

‘Hai Lara. Aku udah di kampus. Nanti sepulang kuliah aku jemput kamu di kos ya.’ Pesan yang langsung kukirimkan pada Lara sesampainya aku di kampus.

Hari ini, hanya ada satu mata kuliah yang harus kuikuti. Tentang angka, yang mana aku selalu tidak suka jika berkaitan dengan hitung-hitungan. ‘Aku bukanlah orang yang perhitungan’ candaku dalam hati. Segera aku menuju kelas yang sudah ditentukan untuk hari ini dan menemui teman-teman yang sedari tadi sudah lebih dulu sampai.

Aku sudah resmi menjadi mahasiswa tingkat akhir. Yang sebentar lagi akan melepaskan diri dari status sebagai donatur kampus. Tapi, sebelum akhirnya sampai pada titik itu, aku harus terlebih dulu berjibaku dengan tugas-tugas yang semakin menumpuk. Hari ini aku tersenyum dengan tugas yang sudah diselesaikan, esok senyuman itu lenyap seketika. Memang, kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi kemudian. Cukup dinikmati saja apa-apa yang sedang dirasa. Termasuk melihat sekumpulan angka yang harus dihitung dengan tepat saat ini juga. Haha.

Jam sudah menunjukkan pukul 14.30. Aku masih saja sibuk memijit pelipisku saat dihadapkan pada sederet angka yang berjejer di papan tulis.

“Pantesan lo ngulang matkul ini. Daritadi kerjaannya mijitin kepala doang. Kerjain!!!” Seketika aku terhenyak mendengar suara itu. Suara sialan yang sangat aku kenal selama 3 tahun menimba ilmu disini. Akbar. Sahabatku sejak semester satu.

“Yeee, sialan lo. Gue sengaja ngulang, biar bisa nemenin lo disini sekarang.” Tawa pecah diantara kami berdua. Sampai membuat seisi kelas menatap heran ke arah kami yang duduk di barisan paling belakang.

“Kelar kelas ngopi yuk.”

“Anjir kok gue agak ngeri ya diajakin ngopi sama cowok.”

“Elo kok ngeselin si. Masih normal gue, masih normalll.”

“Lemah amat si gitu aja baper. Tapi sorry nih, bukannya gak mau. Tapi lebih enak ngopi sama cewek. Hehehe.”

“Ah bilang aja elo mau ketemu Lara.”

“Nah itu lo paham. Silahkan cari cowok lain ya Akbar.” Aku sedikit menggodanya. Akbar memang sering sekali minta ditemani untuk pergi ke kedai kopi. Sekedar untuk berbincang atau melarikan diri dari kenyataan yang ada. Baginya, aroma kopi dan musik indie adalah perpaduan sempurna untuk meraih ketenangan.

Clinggg. Suara pesan masuk dari salah satu aplikasi pesan di ponselku. “Kamu dimana? Engga lupa sama janjinya kan?” Lara sepertinya sudah tidak sabar ingin segera bertatap muka. Pun sama halnya dengan aku. Aku sudah tidak sabar ingin memenuhi seisi telinga dengan cerita-cerita baru darinya.

“Mohon bersabar sebentar ya tuan putri. Lima menit lagi selesai.” Tanpa sadar wajahku menampakkan kesenangan yang teramat. Sembari mengetik pesan tersebut, kedua bibirku sudah membentuk senyum sempurna. Sebuah senyuman kejujuran yang tidak malu-malu bersembunyi dibalik potongan paradigma yang melihatnya.

Orang-orang yang sedari tadi bergelut dengan rumitnya masalah angka, bergegas merapihkan barang-barang mereka. Kelas hari ini sudah ditutup dengan ucapan doa dan salam dari para penghuninya. Aku pun turut serta memasukkan barang-barang ke dalam tas ransel yang sudah usang dimakan usia. Berdiri dan melangkah maju menyusuri lorong-lorong gedung, mengarah pada hamparan kuda-kuda besi yang sedang berbaris rapih.

Sudut-sudut gedung kampus mempunyai memori tersendiri bagiku. Seperti halnya sekumpulan jendela simetris di setiap sisi bangunan, yang bagiku terlihat seperti mata. Mampu meneropong apa yang tersembunyi dibaliknya. Mengarahkan pada setiap kemungkinan yang ada, jika melihatnya dengan mata yang penuh kejujuran.

“Hei Lara. Aku sudah ada di depan gerbang kos. Kalau hitungan ketiga kamu gak keluar, aku cari tuan putri yang lain. Satu…” Candaku padanya.

“Berisik.” Hahaha siapa sangka balasan singkat nan kejam yang justru aku terima. Sepertinya Lara sedang mengalami Premenstrual Syndrome.

“Galak banget sih jawabnya. Lagi dapet ya?”

“Iya. Jangan macem-macem!!!” Sial, Lara mengancamku kali ini.

Tidak lama berselang, ia kemudian turun dari peraduannya. Dress biru bercorak floral menampilkan kecantikan Lara yang membuatku memandang lekat kearahnya. Ditambah, sepatu flat dengan pita berwarna pink semakin menegaskan keanggunan dirinya. Sebuah perpaduan warna yang menjadi kesukaan Lara. Mataku masih saja memandangnya lekat. Wangi aroma parfum yang biasa ia pakai ternyata sudah lebih dulu memenuhi seisi indera penciuman. ‘Apa memang perempuan selalu seperti ini? Aroma parfumnya lebih dulu tiba dari pemiliknya yang masih jauh disana?’

“Hei kok bengong?” Suaranya membuyarkan lamunanku yang masih terperanjat dengan pertanyaan konyol barusan. Untuk kesekian kalinya, Lara berhasil membuatku terperangah dengan kecantikan yang dimilikinya.

“Aku dengar ada coffee shop baru di ujung jalan kenanga, Chemistree.

“Udah dibilang berkali-kali, jangan kopi terus.”

“Tenang, menu andalan disana green tea latte dan pastry isi buah. Kamu pasti suka.”

“Oke berangkat.”

Aku begitu bersemangat mengajak Lara ke tempat itu. Kurasa, namanya akan sesuai dengan apa yang sedang kami rasa saat ini. Membangun kesesuaian hubungan antara dua raga yang saling bersinggungan.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke kedai kopi tersebut. Jalanan kota Jakarta sore ini sedang tidak begitu padat. Mungkin, karena orang-orang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Lain halnya jika sudah memasuki jam pulang kerja. Akan terasa sulit mencari jalanan yang tidak penuh sesak dengan riuhnya kendaraan.

“Duduk disana aja ya. Dekat jendela.” Lara mengawali ketibaan kami dengan memilih posisi duduk yang paling nyaman. Ia sudah paham betul, duduk di tepi ruangan mengarah ke jendela adalah tempat terbaik untuk bercengkrama.

Salah seorang pegawai kedai kopi tersebut datang menghampiri tempat kami duduk. Hanya berselang beberapa detik setelah kami siap dengan posisi kursi dan meja. Buku menu yang diberikan tampak menggoda, banyak makanan dan minuman yang belum pernah kami coba sebelumnya. Akhirnya, setelah membolak-balikan kertas berisikan gambar makanan dan minuman, pesanan sudah dibuat. Dua iced green tea latte, satu mixed fruit pastry cream, dan satu dark chocolate cheesecake siap menjadi teman berbincang selama beberapa jam kedepan.

“Saka, sebentar lagi kamu lulus. Apa rencana kamu setelah ini?” Lara membuka perbincangan dengan sepotong pertanyaan yang menurutku cukup berat sebagai awalan.

“Rencana? Aku lebih senang menyebutnya mimpi. Sesuatu yang harus digapai dengan usaha yang tinggi dan doa-doa yang dipanjatkan di sepanjang sepertiga malam. Ada satu mimpi yang sekarang lagi pingin banget aku buat nyata.”

“Apa?” Lara mendekatkan wajahnya kearahku. Ia tampak antusias ingin mendengarkan aku bersoloroh panjang tentang mimpi yang aku sematkan.

Melihatnya sedekat ini membuat jantungku berdegup lebih cepat. Sama persis saat pertama kali aku mengutarakan perasaanku padanya. Aku selalu merasa, ada beberapa hal yang membuatku bisa senyaman ini dekat dengannya. Bercerita perihal apapun, termasuk resah yang selama ini seolah tertumpuk menjadi beban.

Alunan lagu Can’t Take My Eyes Off You yang dinyanyikan oleh Frankie Vallie dan Lauryn Hill terus bergaung mengisi setiap sudut ruangan yang hampir penuh dengan pengunjung. Aku tersenyum lirih saat mendengar lagu ini, tepat ketika aku sedang menatap binar-binar di bola mata Lara.

“Aku ngerasa, semenjak kamu ada di hidupku, aku selalu merasa lebih baik dan lebih bersyukur dari sebelumnya. Mimpi ini ada justru karenamu Lara. Karena kamu selalu membawa energi positif untuk aku. Mimpiku sederhana, ingin jadi lebih berguna bagi orang lain. Terutama untuk mereka yang membutuhkan.” Sebenarnya ada satu lagi mimpi yang selalu aku semogakan. Aku berharap suatu saat nanti, kita bisa bersama dalam satu ikatan pernikahan. Harapan yang senantiasa aku gaungkan dalam sajak-sajak doa di sepertiga malam.

“Terus, sekarang kamu udah tau mau dengan cara apa kamu mewujudkan impian itu?”

“Aku sempat kepikiran untuk membuka kegiatan pembelajaran di lingkungan sekitar rumahku. Yang mana nantinya, siapapun yang turut serta  memiliki kewajiban untuk bersedekah sebagai imbalannya. Tidak ada batasan untuk besaran rupiah yang bisa diberikan. Selama mereka ikhlas, selama itu juga hasilnya akan bermanfaat bagi siapa pun. Hasil dari sedekah yang dikumpulkan nantinya akan disumbangkan ke yayasan yatim piatu setiap bulannya. Aku berharap Tuhan dan semestanya mengizinkan mimpi ini untuk segera terwujud.”

Kulihat seulas senyum mengembang di wajah Lara. Seolah terbungkam dengan apa yang baru saja aku katakan. Matanya menampakkan binar-binar air mata yang seakan ingin membasahi wajahnya. “Kamu berhasil buat aku speechless Saka. Aku kagum sama pemikiran kamu. Tolong, jangan pernah berhenti untuk selalu berbuat kebaikan Saka. Aku bangga sama kamu.”

“Akan lebih membanggakan kalau impian ini bisa kita wujudkan sama-sama.” Ucapku sembari menyeka air mata Lara yang mulai sedikit berjatuhan.

“I’ll do my best for you Saka. Just like you did on my Festival.” Kami pun saling melempar senyum teriring rasa bahagia yang menjelma dalam sukma.

Aroma teh hijau yang menenangkan kemudian memenuhi hidungku begitu aku menyesapnya perlahan. Ditambah wangi buah-buahan pada sepotong mixed fruity pastry cream semakin membuatku larut dalam manisnya. Tapi tetap saja, itu masih belum bisa mengalahkan manisnya senyuman tuan putri Lara.

Sembari menikmati hidangan yang tersedia, sesekali aku memeriksa ponselku. Barangkali ada hal penting yang harus aku ketahui segera. Membaca pesan-pesan dalam aplikasi perpesanan, sampai melihat notifikasi email yang belum aku baca sejak pagi tadi. Sesaat tengah membaca beberapa email masuk, mataku berhenti dan tertuju pada satu notifikasi yang ganjil. Ternyata, ada yang baru saja mengakses salah satu platform media sosial milikku. Informasi yang kulihat, perangkat tersebut berasal dari ponsel bermerk iPhone. Hal yang tentunya membuatku kebingungan. Sebab, yang bisa mengakses sosial media tersebut hanyalah aku dan Lara. Terlebih, di antara kami berdua tidak satu pun yang memiliki ponsel besutan Apple tersebut.

“Ra, ini siapa ya yang Log In pakai iPhone? Kamu?”

Lara menatapku “Hah? Engga kok.”

Nalarku mendadak meracau dan seketika pikiran buruk mulai liar beterbangan. Aku coba mencerna lebih dalam dan mengaitkannya pada setiap rangkaian peristiwa sebelum ini. “Di rumah kamu ada yang pakai iPhone?”

Mendengar pertanyaan itu, pupil matanya nampak membesar seolah sedang terkejut. Wajah yang sedari tadi diisi dengan keceriaan seketika berubah menjadi penuh kekhawatiran. “Kakak.”

Benar saja dugaanku, pasti orang terdekat yang bisa mendapatkan akses dengan mudah. “Tapi kenapa bisa?” Aku masih saja heran kenapa ia bisa dengan mudahnya mendapat akses ke salah satu media sosial milikku.

“Aku juga gak tau.” Menyadari akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Lara semakin tidak tenang. Ia merasa sangat khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pun, sama hal denganku. Aku menyadari betul akan berhadapan dengan situasi seperti apa nantinya. Selama ini, memang kakaknya lah yang tidak pernah suka dengan hubungan kami. Ia selalu menatapku sinis setiap kali aku menjemput dan mengantar Lara ke rumah.

“Gapapa Ra. Kamu tenang aja ya. Aku gak akan pergi.”

“Tapi ka…”

“Kamu bilang ‘you’ll do your best for me’. Aku juga ra, I’ll do my best for us.” Kini, Lara sedikit lebih tenang. Ia sudah mampu mengendalikan pikirannya yang mendadak kacau.

Entah, kejutan apa yang akan semesta berikan. Sebab, aku masih percaya bahwa setiap kemungkinan akan selalu bersinggungan. Aku hanya bisa berharap, ini tidak menjadi hal buruk seperti yang aku mimpikan semalam.

     Bagaimana jika sebuah perkenalan berakhir dengan perpisahan?
     Apakah kau masih akan semangat untuk menunggu sebuah pertemuan?

     Bagaimana jika sebuah perjumpaan berakhir hanya untuk saling meninggalkan?
     Apakah kau masih akan percaya kepada mereka yang mendekat?

     Aku percaya selalu akan ada suka, setelah duka.
     Aku percaya selalu akan ada yang menetap,
     setelah tidak ada lagi harap.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hujan Bulan Desember (Part 3)

Perjalanan pulang masih amat panjang untuk di lalui. Membawa dua titik berbeda dalam satu tujuan yang sama, pulang. Menuju kepulangan yang semu. Tentang kisah-kisah yang tak bisa diungkap oleh kata. Hanya sebatas dirasa tanpa disadari. Tentang dua persona yang berada di atas kuda besi yang membawanya pergi. Menjauh dari segala yang ada, menghentikan rasa yang berkecamuk untuk dicari jawabannya. Mungkin ego kita memang sedang tinggi. Mungkin memang belum saatnya untuk bisa saling mengerti, juga memahami. Tentang titik temu yang berbeda, tentang luka-luka yang kemudian dimaafkan lewat satu rangkai peristiwa.

~

Lara masih saja nyaman dalam diamnya. Membuat kami seperti dua raga yang tidak pernah saling kenal. Seperti dua orang asing yang hanya sedang tidak ingin saling bercakap. Sesekali nampak wajahnya yang terlihat sedang menembunyikan rasa kecewa. Perjalanan yang seharusnya dinikmati, malah seperti ingin untuk segera diakhiri. Permainan semesta memang selalu mengundang tanya, tanpa tahu apa jawaban yang sebenarnya.

DUGGG!!! Bunyi suara helm kami yang saling beradu.

“Ra, kamu ngantuk?” Aku coba memulai kembali percakapan. Tapi masih saja ia enggan untuk mengucap sepatah kata pun.

DUGGG!!! Kali kedua helm kami saling beradu.

“Ra, kita berhenti sebentar ya. Kamu kayaknya ngantuk. Kita istirahat dulu.”

“Gak usah. Lanjut aja.”

“Di depan ada SPBU. Kita istirahat disana, sekalian isi bensin. Bahaya juga kalo dilanjut. Nanti kamu jatoh.”

“Hhhh.”

Tanpa menunggu persetujuan Lara, aku membawanya ke tempat yang setidaknya dirasa nyaman untuk sekedar beristirahat. Kembali mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan sisa setengah perjalanan berikutnya. Lelah tampak jelas di mata dan wajahnya, bersamaan dengan rasa kantuk yang sedari tadi sudah meminta haknya untuk dituruti. Ia memang terjaga semalaman dan hanya sempat tidur selama beberapa jam. Samar terlihat Lara seperti orang yang sedang sakit karena matanya yang tampak sayu.

“Tunggu sini sebentar ya.”

“Mau kemana?”

“Beli air sama makanan.”

Langkah kaki tertuju pada minimarket yang berada di SPBU tempat kami singgah. Membeli beberapa makanan dan minuman sebagai teman perjalanan kami selanjutnya. Setidaknya, kalau Lara masih belum mau berbicara, ia harus mau untuk makan dan minum.

“Ra, minum dulu. Kamu pasti haus kan. Sekalian juga cuci mukanya biar seger.”

“Hmm.”

“Ih dimatanya ada belek ihhh.”

“Apaansi.”

“Beneran. Coba ngaca deh. Ihh jorok.”

“Apa sih ah ngeselin.” Lagi dan lagi, sebuah cubitan kembali melayang tepat di bahu. Jauh lebih keras dari biasanya.

“Ciee udah ga marah nih berarti.”

“Kata siapa?”

“Itu udah bisa senyum. Cieee.”

“Kamu sih ngeselin, lagi kayak gini malah bahas mantan.”

“Iya, aku minta maaf ya. Serius ga sengaja bahas itu. Kayaknya efek banyak pikiran deh.”

“Kenapa”

“Engga, gapapa. Nanti aja dibahasnya. Sekarang kamu makan dulu, biar kuat sampe rumah. Biar ga ngantuk lagi.”

Melihat Lara bisa kembali tersenyum membuat perasaan menjadi lebih lega. Setidaknya, kepulangan kami tidak membawa masalah ke arah yang lebih buruk. Senyumnya yang lucu menjadi pertanda bahwa masih banyak ruang yang bisa disesaki dengan suka. Tanpa perduli seberapa banyak luka yang pernah tersematkan, ia akan selalu bisa tergantikan dengan bahagia yang dicipta sendiri. Bahagia yang datangnya dari nurani, menanjak jauh melintasi ego diri sendiri.

Awan sedang berbaris rapih menyambut semua mata yang tengah menengadah khawatir akan turun hujan. Cakrawala yang megah dengan birunya langit seketika berubah menjadi sekumpulan awan hitam yang siap menghujani semua raga di bumi. Angin bulan Desember memang selalu membawa aroma hujan yang terlambat datang di penghujung tahun. Rasanya, kali ini ia tidak akan benar-benar terlambat. Sebab, aku sedang berada di kotanya, kota hujan. Tidak mungkin ia akan melewatkan sedetik pun kesempatan untuk bisa pulang kembali ke tempat dimana ia dikenal dan dikenang.

Mataku mendadak nanar melihat Lara yang masih lahap dengan makanannya. Seperti anak bayi yang baru saja merengek atas rasa lapar yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sesekali ia menampakkan wajahnya yang syahdu, diiringi dengan bibir merahnya yang nampak menggoda, dan indah bola matanya yang seakan mengundang untuk ditatap dalam-dalam.

Tanpa sadar, mataku terperangah oleh binar cahaya di kedua matanya. Rasanya sedetik pun tidak ingin menjadi sia-sia untuk sekedar menatap mata bulatnya yang lucu.

Ada sedikit perasaan yang berbeda saat aku menatap Lara. Terlintas kekhawatiran yang mendadak membuat nalar kembali meracau diatas semua pemikiran yang ingin memberontak keluar. ‘Apa mungkin aku masih bisa semudah ini memandang lekat wajahnya dengan penuh kebahagiaan?’ pertanyaan yang seolah-olah menari dalam pelataran pikiran. Memenuhi isi kepala yang sudah sesak penuh dengan suara-suara gemuruh di dalamnya.

“Hei, kenapa? Kok ngeliatinnya gitu?”

Belum selesai aku mencari jawaban atas pertanyaan tadi, Lara sudah menyadari bahwa aku sedari tadi menatapnya secara penuh. “Gapapa, itu di matanya ada sesuatu.”

“Ada apa?”

“Ada aku.”

“Dasar cowo, bisanya gombal mulu. Males ah.”

“Aku ga cuma bisa gombal aja kok.”

“Terus?”

“Bisa aku adalah mencintaimu.” Seutas senyum aku berikan padanya karena berhasil meniru rayuan dari DILAN untuk MILEA.

Tawa kembali pecah diantara aku dan Lara. Sepasang raga yang sedang mencoba kembali ke arah yang seharusnya. Melepas marah dengan jiwa-jiwa yang lebih ringan untuk berserah. Aku tak tahu akan seperti apa lagi kisah yang bergulir. Aku tak tahu takdir apa yang akan membawaku menuju. Aku pun tak pernah tahu, pilihan apa yang nantinya akan aku buat. Atau pilihan yang harus aku buat tanpa ada alasan di baliknya. Tapi yang aku tahu, hidup harus tetap berjalan, langkah harus tetap tegap. Dan aku hanya perlu percaya bahwa semua singgah adalah sementara, semua kemungkinan pasti akan membawa pada satu titik perubahan.

Sambil tetap memperhatikan Lara, aku bergegas merapihkan barang-barang dan menatanya kembali diatas kuda besi yang sudah cukup dengan istirahatnya. Nafas yang sedari tadi sesak dengan luapan amarah, sudah terasa lebih ringan untuk dibawa pulang. Membawa segelintir cerita yang nantinya sudah pasti jadi barisan diksi dalam setiap aksara yang aku buat. Yang tentunya untuk Lara.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Kami harus sudah tiba sebelum gelap menyambut, atau setidaknya saat semburat oranye sedang terang-terangnya di langit sore ini.

Lara mendekatiku, berharap aku sudah selesai dan siap untuk melanjutkan perjalanan. Saat itu juga, harum semerbak Estee Lauder Pleasure hinggap di hidungku yang membuatku menoleh ke arahnya. Harum wangi bunga yang lembut dari parfum yang biasanya dipakai Lara memang menjadi ciri khas tersendiri. Setiap kali aroma itu terendus, maka sudah pasti itu Lara.

“Udah siap?”

“Udah nih.”

“Yuk berangkat.”

“Yuk.”

“Saka, boleh minta tolong?”

“Apa?”

“Susah pake helmnya, bantuin.” Senyum lebar nampak jelas di wajahnya kala ia kesulitan untuk memakai helmn. Seperti biasa, tingkah Lara selalu lucu seperti itu.

“Dasar manja.”

Menyenangkan rasanya bisa memulai kembali perjalanan dengan keadaan yang sudah lapang. Diiringi dengan pikiran-pikiran yang jauh lebih tenang.

Sore itu adalah waktu yang tepat untuk melihat sebuah hal yang sangat disukai oleh Lara, awan. Ia selalu senang melihat sekumpulan awan yang berbaris rapih diatas langit. Mendampingi matahari dengan sinarnya yang begitu terang. Pemandangan yang akan selalu membuat Lara tersenyum setiap kali ia mendapati awan yang cantik. Terkadang ia mengabadikan momen tersebut dengan jepretan kamera ponsel miliknya. Dan sesekali hasil jepretannya diunggah melalui laman media sosial.

Aku tersenyum saat mengingat kembali kesukaan Lara. Aku menoleh kearah kaca spion, mencari-cari letak arah pandangan matanya. Benar saja, sedari tadi matanya selalu tertuju ke arah langit. Seperti sedang berharap sesuatu yang menakjubkan akan keluar dari persembunyiannya.

Aku memacu sepeda motorku agar melaju sedikit lebih cepat. Dengan harapan bisa tiba di tempat dan waktu yang tepat. Tempat terbaik untuk melihat bersihnya langit kota Bogor adalah diatas bukit pelangi. Dan sore masih menjadi waktu terbaik menyaksikan matahari menuju senja.

Tapi nampaknya semesta belum mau mengabulkan harapan yang sedari tadi diagung-agungkan. Tepat diatas bukit pelangi, tatapan mata mulai tertuju pada barisan awan nimbostratus. Terlihat samar-samar gerimis akan segera turun. Aku sedang menerka-nerka kapan hujan akan segera menyambangi bumi dan seisinya, sambil berharap ia tidak akan datang sebelum aku dan Lara tiba di rumah.

“Yah langitnya mendung. Awannya gelap semua. Jadi engga bisa foto-foto deh.”

“Kayaknya kamu titisan cenayang deh. Bisa tau isi pikiran aku.”

“Hah? Apa? Sayang?”

“Cenayangggg.” Kali ini bukan lagi cubitan yang mampir di bahu, tapi tepukan cukup keras yang mewakili perasaan gemasnya.

Masih di atas lajur yang sama, terlihat bunga mawar sedang merekah di beberapa sudut jalan. Memancarkan warna indahnya yang mampu menyenangkan semua mata yang melihat. Harumnya mampu memenuhi setiap indera penciuman, persis seperti harum bunga di musim semi. Mata tak berhenti tertuju pada keindahannya. Terlampau terpana pada setiap tangkai bunga yang begitu indah dan menenangkan.

“Ra, liat deh bunganya bagus.”

“Mawarrrr. Bunga yang memang selalu terlihat cantik dan anggun.”

Aku lantas hanya membalas kalimat tersebut dengans senyuman. ‘Persis seperti kamu ra, cantik dan anggun’, ucapku tanpa suara.

“Kamu tau kisah tentang bunga mawar?”

Lara menggeleng, “Belum. Aku pernah baca di internet tapi cuma sekilas aja. Engga begitu tau tentang kisah, apalagi filosofinya.”

“Mau denger kisahnya?”

“Kita masih punya waktu yang panjang kan untuk dengerin kamu cerita?”. Lara mangangguk semangat sembari menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Membuatku terperangah sejenak dengan perlakuannya. Seperti seorang adik yang sedang ingin dimanja oleh kakaknya. Ada hal yang membuatku sangat nyaman dan ingin berlama-lama berbincang dengan Lara.

“Bunga mawar yang identik dengan warna merahnya, pertama kali dikenal di zaman mitologi Yunani. Konon katanya warna asli dari mawar itu putih. Tapi berubah sejak kaki dari Venus tidak sengaja tertancap duri mawar saat ia sedang berjalan-jalan. Nah jadi dari situlah warna merah itu berasal.”

“Venus itu anak dari Cupid kan?”

“Betul. Ada lagi kisah dari legenda arab sana. Dulu, ada seekor burung yang terbang melintas tepat diatas sebuah kebun bunga. Dari sekian banyak bunga yang ada, burung itu ternyata jatuh cinta pada satu tangkai bunga mawar berwarna putih. Tapi kecintaannya pada bunga mawar itu tidak terbalaskan. Sebab, sang mawar mengatakan hal yang justru menyakiti si burung. Perkataan tersebut ia lontarkan karena sang mawar yakin bahwa meski mereka saling jatuh cinta, mereka tidak akan pernah bisa bersatu.”

“Terus apa yang si burung lakuin?”

“Untuk membuktikan cintanya pada sang mawar, si burung rela memotong sayapnya. Lalu ia terbang dan menebarkan darahnya pada kelopak bunga mawar putih itu. Nah darah itulah yang membuat bunga mawar menjadi berwarna merah.”

“Kasihan ya burungnya. Dia udah ngebuktiin cintanya tapi masih engga diterima sama si mawar.”

“Dari kisah itu sebenernya kita bisa belajar. Bahwa kadang kita seringkali terlambat menyadari ada seseorang yang begitu mencintai kita. Saat orang itu sudah pergi, barulah kita menyadari sepenuhnya. Beberapa pendapat bilang, lebih mudah meninggalkan daripada ditinggalkan.” Tanpa sadar perkataan tentang meninggalkan terlontar sangat nyata, begitu lepas.

Ada perasaan aneh saat aku tiba-tiba teringat dengan satu hal di masa lalu. Tapi belum sempat aku kembali membayangkannya, Lara sudah kembali bersuara. “Eh udah ah, kenapa jadi bahas yang sedih-sedih gini deh.”

Sore sudah semakin larut dan senja pun tampak sudah hampir habis. Aku masih berada di atas kemudi, menyusuri setiap jengkal jalanan Bogor menuju ibu kota. Sejak satu jam lalu, pandangan mata hanya tertuju pada padatnya jalanan yang kali ini sudah memasuki wilayah kota Depok. Bunga-bunga dan pepohonan sudah mulai jarang terlihat. Hanya sekumpulan mobil dan kendaraan lainnya yang sedang melaju ke tempat tujuannya masing-masing.

Satu jam perjalanan berlalu, sebagian diriku diselimuti perasaan lelah yang manggunung, sebagian lagi masih dipenuhi semangat untuk menikmati perjalanan bersama Lara.

Sial, sepertinya Lara menyadari kalau aku sudah mulai lelah. Ia meletakkan kedua tangan mungilnya diatas bahuku. Sesekali memberikan pijatan ringan sebagai upaya untuk meredakan lelah yang sedari tadi membuatku tidak karuan.

“Mau istirahat dulu?”

“Engga usah deh ya. Tanggung, sebentar lagi juga kan kita sampe. Takut keburu gelap juga.”

“Yaudah, kalo gitu. Kamu gausah protes aku pijitin.” Perhatian yang diberikan Lara cukup untuk membangun kembali energi semangat yang sempat runtuh.

Semburat oranye senja sore semakin menambah kesyahduan momen perjalanan ini. Menemani perjalanan kami untuk sampai pada tujuannya. Aku yang sedari tadi menikmati bentuk perhatian yang diberikan Lara, mulai menyadari bahwa kebahagiaan ini akan segera berakhir.

Sebetulnya, keadaan seperti ini mungkin saja bisa terulang kembali. Tapi tidak ada salahnya kalau aku tetap ingin menikmati momen kebersamaan ini. Esok mungkin tidak akan pernah sama. Bisa jadi akan jauh berbeda dengan setiap kemungkinan yang ada. Apa yang kita miliki saat ini adalah sesuatu yang sangat layak untuk disyukuri. Jangan sampai seperti bunga mawar putih yang terlambat menyadari bentuk ketulusan cinta sang burung.

“Lara.”

“Iya, kenapa?”

“Orang tua kamu pasti punya pemikiran yang matang waktu kasih kamu nama Lara. Mereka pasti punya filosofi yang kuat.”

“Loh emang kenapa?”

“Lara itu punya banyak arti dan makna, semuanya bagus. Waktu pertama kali aku kenal kamu, aku penasaran sama nama kamu. Ternyata, artinya memang sesuai dengan kenyataan yang ada.”

“Apa yang kamu tau tentang Lara?”

“Lara dalam bahasa Yunani artinya menyenangkan. Dalam bahasa Indonesia, Lara artinya indah dan menarik. Paket lengkap yang semuanya ada di kamu. Perempuan cantik yang sangat menyenangkan. Semua yang kenal sama kamu pasti punya pemikiran dan perasaan yang sama kayak aku. You deserve to be the one all the people love. You own all the good things inside.

Lara hanya mematung mendengar perkataanku barusan. Tapi tampak jelas ia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ia tampak malu diiringi dengan senyum yang sangat menawan. Juga pipinya yang kemerahan, semakin membuatnya terlihat cantik dan mempesona.

Sekarang, aku sedang dibuatnya terkejut. Kedua tangannya kini sudah melingkar ditubuhku. Sebuah pelukan hangat yang seketika membuat sekujur tubuhku bergetar. Ditambah, kepalanya juga bersandar tepat di bahu sebelah kanan. Cukup untuk membuatku mematung tanpa sepatah kata pun.

“Makasih ya. Makasih udah mau selalu ada buat aku. Makasih udah selalu ngucapin kata-kata baik dan semua hal baik yang bisa kamu lakuin. Dan satu lagi. Makasih untuk hari ini, kamu berhasil bikin perasaan aku naik turun kayak roller coaster. I love the way you made my day, Saka.”

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman, kali ini lebih tulus dari senyuman-senyuman sebelumnya. Entah datang darimana senyuman seperti itu. Tiba-tiba mencuat begitu saja.

Semakin mendekati tujuan, pelukan Lara menjadi semakin erat. Seperti seseorang yang sedang tidak ingin ditinggal pergi oleh orang yang ia sayang. Rasanya, saat ini pipiku sedang berwarna merah persis seperti buah tomat. ‘Belum pernah rasanya aku mendapatkan perlakuan yang romantis seperti ini darinya’, pikirku yang sedang berbicara dalam hati sambil mengutas senyum di wajah.

Semesta memang tidak pernah kehabisan akal untuk memberikan kejutan-kejutan tak terduga bagi para penghuninya. Termasuk saat ini. Saat aku sedang merasakan kebahagiaan bersama Lara. Membuatku merasa cukup dengan apa yang aku miliki saat ini. Sebuah pemahaman yang aku pun tidak tahu kata apa yang pas untuk menggambarkan semuanya.

Tak terasa, matahari sudah semakin rendah. Ia bersiap untuk pamit meninggalkan semua raga yang sedang berdecak kagum menatap keindahan sinarnya. Digantikan dengan pesona rembulan yang juga tak kalah elok. ‘Meski senja selalu berbicara tentang perpisahan, ia selalu bersedia memaafkan, dan kembali esok hari setelah kemarin menenggelamkan diri’, salah satu kutipan yang pernah aku baca pada sebuah blog. Memang senja seolah memberi pesan bagi kita untuk ‘rela’. Bahwa setiap pertemuan dan apa yang kita miliki saat ini tak mesti selamanya. Kita harus bersiap dengan kehilangan, yang datangnya tanpa apa, kenapa dan bagaimana. Tapi tidak bagiku. Aku hanya siap dengan perpisahan, tapi tidak dengan kehilangan.

Tempat yang menjadi tujuan kepulangan kami sudah mulai nampak diujung mata. Sesaat lagi, perjalan ini akan segera berakhir. Raga-raga yang lelah sudah tidak sabar menantikan haknya untuk disegerakan. Setelah berpetualang membawa satu cerita untuk membentuk kisah-kisah selanjutnya.

“Akhirnyaaaa!!! Kita sampe juga.” Kalimat yang aku ucapkan sesaat setelah sampai di depan gerbang kos tempat Lara pulang. Sembari merenggangkan otot-otot yang mulai kaku dan tegang. “Hhhhhh. Capek juga ya.” Lara sedikit mengeluh dan menarik nafas panjang. Meski tampak lelah, ia masih terlihat cantik dengan rona bahagia yang terpancar di wajahnya.

“Kamu mau langsung pulang?”

“Iya, keburu malem. Udah ditungguin juga sama adik di rumah.”

“Yaudah, hati-hati ya. Badan aku udah engga sabar buat diajak rebahan. Aku langsung masuk ya. Assalammualaikum.”

“Walaikumsallam.” Lara melambaikan tangannya lalu berbalik dan mulai melangkah menjauh. Semakin jauh meninggalkan aku yang masih ingin menarik nafas dalam-dalam. Semenit berlalu, aku bersiap kembali melanjutkan perjalan ke tempat seharusnya aku pulang, rumah.

DRRRTTTT. DRRRTTTT. Dering suara telpon menunda perjalananku selanjutnya.

“Assalammualaikum, A Saka.” Suara ayah terdengar serak dan berat. Seperti orang yang sedang bersedih.

“Walaikumsalam, pa.”

“A Saka, papa mau nyampein sesuatu yang udah pasti kamu engga mau denger.”

“Maksudnya?”

“Sepuluh menit yang lalu nenek udah engga ada a. Nenek udah ninggalin kita semua, udah dipanggil pulang sama Tuhan. A Saka yang sabar ya.” Perkataan ayah barusan seperti petir yang menyambar ditengah hujan deras. Mengagetkan sekaligus membuat sedih. Sekujur tubuh mendadak lemas. Air mata sudah tidak sanggup lagi terbendung. Dan aku masih saja terdiam, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.

“Saka pulang sekarang. Malam ini juga Saka berangkat ke Bandung. Saka mau liat nenek.” Kalimat yang terucap begitu saja tanpa memikirkan kalau kereta ke Bandung baru akan berangkat di pertengahan malam.

“A Saka. Dengerin papa. A Saka gak perlu kesini, kasihan adik-adik di rumah. Lebih baik A Saka sekarang pulang, solat dan berdoa buat nenek. Papah percaya, doa-doa yang tulus pasti akan sampai pada tujuannya.”

Saat semua orang mengharapkan kepulangan yang paling dinantikan. Saat semua orang ingin merasakan pulang dengan penuh kebahagiaan. Saat semua orang ingin kembali ke pelukan orang yang dicinta, takdir berkata lain. Keputusan Tuhan jauh lebih indah dari apa yang manusia harapkan. Hari ini Tuhan beri bahagia, hari ini juga ia beri kecewa.