Tak terasa matahari sudah mulai meninggi. Terik sinarnya sudah menerangi setiap sudut kamar. Suara burung yang bersaut-sautan membangunkanku dari lelapnya tidur di akhir malam. Lelah masih nampak jelas di wajah, akibat dari perjalanan semalam suntuk yang cukup membuatku kehabisan tenaga. Ternyata, aku sudah terlelap selama hampir 5 jam sejak waktu ketibaanku menjelang subuh. Jam sudah menunjukkan pukul 9 dan aku kembali harus melewatkan perkuliahan hari ini.
Aroma teh hijau sudah lebih dulu menyapa. Wangi khasnya seolah memenuhi seisi kamar tidur sebagai pengingat bahwa aku harus segera bangun. Namun, raga masih menolak untuk beranjak dari peraduannya. Cukup membuka mata dan bergeliat tanpa arah adalah perpaduan yang sangat nikmat. Apalagi jika ditambah dengan memandangi layar ponsel tanpa tau pasti apa yang harus dilakukan. Sembari meluruskan semua anggota badan, mataku berpendar hendak mencari letak ponsel yang sudah kubiarkan semalaman.
DRTTT!!! DRTTT!!!
Puluhan pesan dan belasan panggilan dari Lara memenuhi notifikasi. Kejadian semalam memaksaku untuk sama sekali tidak memikirkannya. Bahkan, untuk memberi kabar pun tidak terlintas di pikiran. ‘Jangan sampai hal ini malah memperkeruh keadaan’ pikirku.
Sudah pasti aku harus berusaha lebih keras untuk memberikan penjelasan. Perlu tenaga yang tidak sedikit tentunya. Oleh sebab itu, energi harus tetap terisi. Aku memaksakan diri duduk di pinggir tempat tidur beberapa saat. Lalu, pergi menyusuri setiap anak tangga menuju dapur. Ternyata, Ibu sudah menyiapkan semua keperluan keluarga pagi ini. Masakan khas sunda, hidangan penutup, dan beberapa camilan terlihat sangat menggoda diatas meja makan.
“Baru bangun, nak?” Dari arah ruang tamu Ibu menyapaku sembari menyesap teh hijau yang selalu ia minum setiap paginya. “Bukannya kamu hari ini ada kuliah?” Ibu melanjutkan pertanyaannya.
“Iya mah, Saka kesiangan. Nanti Saka izin deh sama dosennya.”
“Yaudah, kamu sarapan dulu aja.”
Cuaca pagi ini sedang tidak menentu, ditambah perasaanku yang semakin tidak keruan. Secangkir cappucino latte adalah pilihan tepat untuk memulai menjalani hari ini. Tegukan pertama begitu terasa menenangkan. Serbuk kopi yang larut dalam siraman air panas menusuk jauh ke dalam indera penciuman. Ahh…aroma seperti inilah yang selalu kurindukan setiap kali pikiranku sedang kacau.
Nalar memang benar-benar sedang bermuka dua. Mengejek nurani yang terus-terusan dihantui perasaan takut diatas pandangan yang tidak meyakinkan. Aku pun dibuatnya tertunduk lesu oleh rasa pesimis dari setiap kemungkinan yang ada. Semakin aku mencoba memahami perasaan ini, aku malah semakin jatuh dibuatnya. Seolah-olah menjadi seorang pengecut yang tidak mampu mengendalikan nalar dan nurani yang seringkali bersitegang.
Tapi, pada akhirnya aku menyerah pada nalar. Ia menyeretku pada gelombang perasaan yang sulit untuk ditahan. Tegukan terakhir cappucinoku menghidupkan kembali memori dan membawaku pada perputaran waktu beberapa hari yang lalu. Cerita demi cerita yang disajikan oleh semesta terlihat begitu jelas dan malah membawaku pada keadaan yang mungkin akan terjadi. Entah kemungkinan yang bisa aku terima atau justru memaksaku untuk sekeras mungkin menolaknya.
“I miss you, Lara.”
Aku mengirimkan pesan itu pada Lara dengan latar secangkir kopi cappucino panas yang sedang kupegang. Mungkin itu bisa menjadi sebuah awalan untuk nantinya disambung dengan permintaan maaf. Kejadian semalam sudah pasti menimbulkan beberapa pertanyaan di benaknya. Aku harap pesan itu bisa sedikit menenangkan, meski marah mungkin sedang merajainya saat ini.
“Kamu udah selesai makannya? Kok malah bengong sih.”
Aku setengah terkejut saat Ibu mendapatiku sedang tenggelam dalam lamunan singkat. Sambil mengusap-usap rambutku, Ibu menasihatiku untuk menjaga kesehatanku dan juga menjaga ibadahku. Ia selalu berpesan bahwa sebagai anak lelaki tertua, aku harus bisa menjadi Saka yang baik bagi adik-adikku. Menjadi panutan bagi mereka saat usinya mulai beranjak dewasa. Ibu juga selalu berpesan padaku untuk segera menyelesaikan pendidikan dan melanjutkan hidup untuk masa depan yang lebih baik. Meski terdengar membosankan, nadanya yang membumi selalu bisa memeluk nurani. Memberikan ketenangan serta keteduhan layaknya rimbun pepohonan di tengah hutan.
“Mama siang ini ngajar kan?”
“Iya, tapi bapak kan lagi sakit. Jadi, nanti engga ada yang nemenin di rumah.”
“Mama ngajar aja hari ini, biar Saka yang nemenin bapak. Kasian, pasti murid-muridnya udah kangen sama Ibu guru cantik.” Ibuku hanya tersenyum. Aku seringkali menggodanya seperti ini.
“Ya engga atuh, Saka. Kamu kan harus berangkat ke kampus. Ada kuliah kan siang sampai sore nanti?”
“Selama semester ini Saka selalu hadir. Boleh ya sekali-kali Saka izin ga masuk. Biar mama bisa ketemu sama murid-muridnya yang lucu dan bapak ada yang nemenin di rumah.”
Ibuku hanya tertawa mendengar alasan dariku. Ia begitu menikmati percakapan singkat ini, meski kutahu perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Aku membalasnya dengan senyuman, lalu meminta izin untuk kembali ke kamar. Melanjutkan istirahat sebelum siang nanti mengantar Ibu pergi ke sekolah tempatnya mengajar.
Lara sepertinya sedang sibuk. Ia belum menyempatkan diri membalas pesan yang kukirimkan saat sarapan tadi. Sepertinya ia memang sedang tidak punya waktu yang cukup untuk membalas dengan cepat. Aku tidak ingin berlama-lama dengan semua pikiran ini. Aku masih merasa lelah untuk menelpon dirinya. Saat ini cukup bagiku untuk membiarkannya mengalir tanpa harus memikirkannya dalam-dalam. Aku sudah terlalu kenyang dengan semua makanan yang aku telan. Rasa kantuk mulai kembali menghinggapiku, meminta haknya untuk disegerakan.
Hujan seketika turun membasahi seisi kota. Matahari yang bersinar terik pagi tadi sudah digantikan oleh sekumpulan awan hitam. Aku terbangun sebab dering suara alarm yang berulang-ulang mengganggu. Mataku masih terasa berat, kepalaku masih terasa pening untuk sekedar mematikan suara itu. Rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 12. Aku harus segera mengantar Ibu, yang ternyata sudah bersiap di ruang tamu.
Hujan menurunkan semua elemennya dari langit. Mengguyur mobil kami yang sedang melaju ke tempat Ibu menyambung hidup keluarga. Awan-awan hitam tak kuasa menampung air yang memang sudah waktunya harus turun ke bumi. Hujan bulan Desember memang selalu punya romansa yang berbeda. Yang mampu menyapa tanah-tanah lapang melalui rintik-rintik pemanis.
Sesekali aku melihat ke layar ponsel untuk memastikan apakah Lara sudah memberikan pesan balasannya atau masih disibukkan dengan urusannya. Rupanya, Lara belum memberikan kesempatan bagiku untuk tenang. Isi kepalaku kembali disusupi oleh ribuan pertanyaan. Menempatkan aku pada keadaan yang kembali tidak menentu. Aku tidak punya kesempatan untuk memilih atau menolak. Kembali mengingat tentang beberapa peristiwa yang menyeretku pada perasaan takut akan kehilangan.
Ditemani lagu-lagu dari radio, di balik kemudi yang melaju santai, Ibu memecah keheningan suasana.
“Saka, kasep. Lagi mikirin apa sih? Sok atuh cerita sama mama.”
“Mama pernah gak sih ngerasa sedih sama kehilangan yang belum terjadi?” Ibuku menaikan sedikit alisnya dan menoleh kearahku. Menatap heran atas pertanyaan yang baru saja kuajukan.
“Kamu tuh ya ngasih pertanyaan kok yang aneh-aneh. Mama belum paham sama maksud pertanyaan kamu.”
“Akhir-akhir ini, Saka ngerasa berat banget sama isi pikiran dan perasaan sendiri. Kayak ada beban yang lagi ditumpuk-tumpuk.”
“Mama tebak pasti tentang perempuan. Sok atuh bageur cerita. Mama belum pernah denger lagi Saka cerita tentang perempuan sejak terakhir kamu kenalin Aryanti ke mama.”
Ucapan mama mebuatku terdiam beberapa saat. Mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya aku mengenalkan seorang perempuan sebagai pasanganku.
“Sebetulnya, semenjak Saka memutuskan pergi dari kehidupan Aryanti, ada perempuan lain yang bisa bikin Saka luluh. Perempuan yang selalu bisa bikin Saka ngerasa lebih baik setiap harinya. Selama ini kalau mama sering liat Saka telponan dan senyum-senyum sendiri, itu udah pasti Lara pelakunya.”
“Terus kenapa kamu malah ngerasa sedih?”
“Beberapa hari yang lalu, Saka dihadapin sama masalah yang Saka sendiri belum tau akarnya dimana, salahnya dimana. Kakak dari Lara tiba-tiba aja pengen tau lebih jauh tentang hubungan kami seperti apa. Memang, keluarganya pun belum sepenuhnya mengetahui kepastian hubungan kami. Yang bikin Saka ngerasa sedih adalah sikap Lara yang seolah-olah berubah drastis. Sampai sekarang, dia belum ngasih sedikit pun kabar ke Saka. Yang bikin kepala Saka penuh sama pertanyaan-pertanyaan tentang ketidakpastian, tentang kehilangan yang mungkin akan Saka rasain.”
Ibuku hanya tersenyum dengan teduhnya.
“Saka, yang namanya kepastian itu hanya milik Tuhan. Kita tidak berhak menerka-nerka akan seperti apa hadirnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan berusaha sebisanya. Dan perihal kehilangan, ada satu hal yang perlu kamu pahami. Semua bentuk kehilangan, yang diambil dari kita dengan cara apapun, tidak benar-benar kehilangan yang menyakitkan. Ia justru hadir sebagai sebuah perlindungan. Kamu inget waktu kakek berjuang ngelawan rasa sakitnya? Waktu Tuhan mempersilahkan kakek untuk berpulang, itu adalah sebuah perlindungan agar beliau dijauhkan dari dosa-dosa yang mungkin diperbuat dan dilepaskan dari rasa sakitnya.”
Aku terdiam mendengarkan apa yang barusan mama sampaikan. Seperti ada yang sedang menusuk nurani. Bukan untuk menyakiti, tapi memberikan kesadaran.
“Tapi ma, Saka masih belum siap dengan kemungkinan-kemungkinannya nanti. Saka belum siap kalau harus kehilangan Lara.”
“Saka, kalaupun Lara harus pergi dari kehidupan kamu, itu engga murni karena keputusannya sendiri. Ada andil Tuhan di dalamnya. Garis takdir atas ketentuan-Nya yang tidak bisa dirubah, oleh siapapun. Tapi, kamu harus percaya, engga semua yang pergi adalah untuk meninggalkan. Kalau memang Lara sudah ditakdirkan untuk kamu, sejauh apapun dia pergi, seberat apapun rintangan yang harus kamu hadapi, dia pasti akan kembali. Kuasa Tuhan jauh lebih besar dari apa yang kamu pikirkan.”
Lagi-lagi ucapan Ibu membuatku merasa bersalah. Aku terlalu egois jika harus memaksa Lara untuk tetap tinggal. Rasanya ingin sekali aku memeluk erat dirinya, atas kedamaian dan ketenteraman percakapan ini. Aku sangat bersyukur memiliki Ibu sebaik mama. Bidadari surga yang nampak nyata hadirnya.
“A Saka, nanti sore jemput mama ya. Terus, besok antar bapak berobat lagi ke luar kota.”
“Siap tuan putri.” Kami menutup percakapan itu dengan berbekal senyuman yang saling meneduhkan. Ada perasaan lega setelah bercerita dengan beliau.
~
“Assalammua’alaikum, Lara. Kamu apa kabar?”
Sebuah pesan kubuat dengan perasaan gugup. Pesan yang kuharap bisa sampai pada Lara saat ini. Tiga hari setelah kami berdebat tentang masalah Lara dan kakaknya, tak ada satu pun kabar yang aku terima dari Lara. Pesan-pesan yang kukirimkan hanya sampai pada tujuan tanpa ada satu pun balasan. Seluruh panggilan telpon yang tertuju padanya pun hanya menjadi omong kosong yang sia-sia. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku hanya sedang kewalahan mengatur degup jantung yang semakin hari semakin kencang. Rasanya seperti seorang penjahat yang tengah menanti keputusan hakim dalam persidangan.
Siang ini aku akan kembali bertolak ke Bandung. Kota yang dipilih oleh Ibuku sebagai tempat pengobatan untuk bapak. Rasanya aku sedang tidak ingin diganggu oleh riuhnya jalanan di akhir pekan. Isi kepalaku sudah terlalu penuh dengan beragam hal aneh. Kemacetan kota Bandung yang hampir serupa dengan Jakarta hanya akan menambah kesemerawutan pikiran. Hanya saja, Tuhan sedang membukakan jalan kebaikan untuk aku raih. Jalan yang dibuka untuk aku berbakti kepada kedua orang tua. Meski keadaanku sedang tidak baik, senyum dan semangat harus tetap terjaga di hadapan mereka.
Aku tidak bisa berbohong bahwa sejak pertemuan terakhirku dengan Lara di Chemistree, ada beberapa bagian dalam diriku yang mulai terasa hampa. Aku tidak pernah mengerti sebelumnya, hukum apa yang sedang alam perbuat. Ada banyak hal yang mulai menampakkan kepergiannya secara perlahan. Warna percakapan yang mulai memudar, yang tidak bisa lagi diingat sebelum beranjak tidur di sepertiga malam. Tidak ada lagi berita yang selalu kutunggu hadirnya, atau pesan-pesan yang biasa kubaca di ujung malam. Semua mendadak lenyap begitu saja. Pergi meninggalkan aku yang masih saja teguh untuk menanti.
“Udah siap nak?” Suara mama membuyarkan lamunanku. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar yang kubiarkan setengah terbuka.
“Iya ma. Ini Saka udah mau turun.”
Alunan musik dari radio 102.2 FM menemani sepanjang perjalanan kami menuju kota kembang. Jalanan yang semula kukira akan membuatku kesal, tampak lengang meski sesekali macet masih aku jumpai. Kami tiba pukul 6 sore tepat saat azan maghrib berkumandang. Mataku menyusuri keadaan sekitar sambil mencari letak suara merdu yang tengah digaungkan. Aku mengajak Ibu dan bapak untuk melaksanakan kewajiban terlebih dulu sebelum beranjak masuk ke tempat pengobatan.
Hujan tengah memayungi kota Bandung malam ini. Rasa kantuk mulai menyerang, bertemankan riuhnya rintik hujan yang jatuh diatas atap berbahan alumunium. Sambil menunggu bapak yang tengah menjalani pengobatan, secangkir kopi cukup untuk menemani sepi dan bosan yang kadang terlalu menyiksa. Aku membuka ponsel dan berselancar di dunia maya, lalu mencari beberapa tulisan yang menarik untuk dibaca. Mataku terhenti pada sebuah tulisan yang diterbitkan pada laman sebuah blog.
Terkadang, sulit rasanya untuk bisa menerima hal-hal yang tak kita ingin.
Yang datangnya tanpa sapa, yang pergi tanpa kata, atau yang hilang tanpa suara.
Sulit rasanya untuk bisa benar-benar menerima.
Saat semua ingin, tak lagi hadir secara utuh.
Saat semua angan datang, lalu menghilang.
Kita memang tidak pernah benar-benar paham.
Kita hanya sedang dipaksa untuk mengerti, lalu menerima.
Sebab, tidak semua hal harus beralasan.
Tidak semua pergi adalah untuk meninggalkan.
Kita hanya perlu terbiasa dengan semua benar yang hadir.
Dengan semua rekaan, yang tidak layak untuk dipersalahkan.
Kita hanya perlu belajar menerima, tiap-tiap pesan utusan semesta.
Mungkin, ini adalah wujud dari sajak-sajak doa yang selama ini dilangitkan.
Yang menembus awan-awan tebal, di sepanjang sepertiga malam.
Aku percaya, ini adalah cara Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.
Ia sedang menunjukkan jalan yang benar, saat kita memilih jalan yang salah.
“Hei, bukan kesini jalannya, tapi kesana.”
Aku terdiam membacanya. Setiap kali aku membaca tulisan yang mampu mewakili perasaan, tidak ada keraguan bagiku untuk mengucapkan terima kasih kepada penulisnya. Lewat tangan-tangan ajaibnya lah, setiap tulisan mampu menusuk ke dalam sukma dan melepaskan energi negatif yang terkurung di dalamnya. Meski perasaanku masih diselimuti oleh rasa takut akan kehilangan, sejatinya penerimaan adalah sebuah keharusan.
Bandung dengan udaranya yang sejuk membuatku merasa nyaman setiap kali berkesempatan untuk singgah. Dan malam ini semesta memperlihatkan keindahan langit yang berpayungkan hujan. Sejuk udara yang terbawa oleh gelombang air hujan menjelma menjadi semakin dingin tak tertahankan. Jaket kulit tebal dan secangkir kopi panas belum cukup untuk mengalahkan dinginnya kota Bandung malam ini. Sesekali aku berbincang dengan beberapa pengunjung warung untuk sekedar bertukar cerita. Mencari kehangatan di setiap perbincangan, terlebih dengan orang-orang yang baru dikenal.
Tepat pukul 8 malam, seluruh rangkaian pengobatan bapak sudah selesai. Terlihat Ibu membawa beberapa ramuan obat tradisional yang dibungkus dengan plastik hitam. Dan bapak masih terlihat menahan sakit sebagai efek dari pengobatan tersebut. Kami memutuskan untuk bermalam di rumah saudara yang tidak jauh dari tempat bapak berobat. Mengingat malam yang sudah semakin larut dan hujan semakin deras.
Tak perlu waktu lama untuk kami tiba di kediaman bibi Lina, adik sepupu dari ibu yang kini menetap bersama keluarga kecilnya di pinggir kota Bandung. Mereka menyambut kedatangan kami dengan penuh kehangatan. Menyiapkan jamuan makan malam, serta memberi ruangan yang nyaman sebagai tempat kami beristirahat.
Setelah selesai menyantap hidangan makan malam, Ibu dan Bapak pamit untuk segera beristirahat. Lelah nampak terlihat di wajah keduanya. Terlebih, besok pagi-pagi sekali kami sudah harus kembali pulang ke rumah. Tidak tega rasanya meninggalkan adik-adik terlalu lama. Sementara, aku masih ingin menikmati suasana Bandung yang selalu menyenangkan untuk dikenang. Aku kemudian terduduk di kursi balkon lantai dua. Menikmati kemegahan langit yang masih tertutup oleh awan-awan hitam pendamping hujan.
“Assalammu’alaikum, Saka. Gimana kabarnya?” Sebuah pesan bertengger di layar ponselku. Senyum secara sukarela tercipta saat mengetahui bahwa pesan tersebut adalah pesan yang dikirimkan oleh Lara.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, baik.”
“Alhamdulillah. Aku mau sampein sesuatu ke kamu. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.”
DEGGG!!!
Aku terdiam membaca pesan tersebut. Sebelum akhirnya, semua pertanyaan yang selama ini merajai isi kepala mendapatkan jawabannya.
“…Selama ini, aku memang sengaja ga ada kabar sama sekali. Itu semua karena aku butuh waktu untuk ambil keputusan. Dan sekarang aku udah nentuin apa yang terbaik yang harus aku pilih. Aku udah pikirin ini baik-baik. Aku rasa, hubungan kita cukup sampai disini aja ka. Semuanya sudah selesai. Aku minta maaf kalau selama ini aku ada salah. Aku minta maaf kalau hubungan yang selama ini kita jaga, harus berakhir dan selesai sampai disini. Aku harap kamu bisa mengerti dan menerima. Aku pamit ya, Saka.”
Petir sepertinya baru saja menyambar dadaku. Lara secara sempurna telah mengobrak-abrik isi perasaan yang sudah lebih dulu kacau. Sukma mendadak liar saat membaca sepotong kabar yang hadirnya sudah aku nantikan. Aku terdiam, degup jantung berdetak semakin cepat, hembusan nafas semakin tidak teratur. Bukan kabar seperti ini yang aku harapkan.
“Kenapa ra? Kenapa tiba-tiba kamu minta udahan?”
Berkali-kali aku coba mencerna dimana letak salahnya. Tidak ada alasan yang cukup jelas untuk aku bisa menerima semua ini. Perkataan Lara tidak bisa aku cerna dengan baik. Sulit untuk dipahami. Satu-satunya hal yang harus diperbuat adalah meminta penjelasan darinya. Tentang alasan-alasan yang mengantarkan dirinya pada keputusan ini.
“Lara, don’t do this. Please tell me the truth.”
Pada sepotong pesan yang kukirim padanya, aku memohon penjelasan yang layak. Apa salah yang sudah kuperbuat? Mengapa Lara tega memberikan keputusan secara sepihak? Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik?
Lara sepertinya sedang tidak ingin berdebat. Semua pesan yang kukirimkan menjadi tidak semenarik itu untuk dibalas, bahkan untuk sekedar dibaca sekalipun. Tidak ada satu pun panggilan telepon yang bisa sampai pada telinganya. Aku sedikit mengepal tangan. Emosi sudah membumbung tinggi, kesal sudah terlanjur merajai sukma.
Luka yang sedang membabi-buta dalam dadaku tidak dapat lagi aku kendalikan. Aku tidak kuasa dengan apa yang sedang kurasa saat ini. Kepalaku mulai terasa berat. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengarahkan kepala ke atas sambil menatap langit yang sedang ikut bersedih. Sepertinya semesta sedang memahami bahwa salah satu penghuninya tengah dirundung duka. Awan pun turut bersedih bersamaan dengan air hujan yang berjatuhan.
Kemegahan langit Bandung yang sedang kutatap mendadak berubah menjadi lanskap sempurna layaknya sebuah layar yang sangat lebar. Memori tentang Lara datang silih berganti memenuhi setiap sudut langit. Membawaku kembali pada setiap kenangan manis bersamanya. Rasanya, aku ingin sekali memeluk Lara, untuk yang terakhir kalinya.
Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Diriku masih belum menerima semua hal yang baru saja terjadi. Jelas, ada yang sedang terang-terangan disembunyikan Lara. Dan besok, aku akan segera menemuinya. Mencari tahu letak salah yang sebenarnya.
~
“Assalammu’alaikum.” Salam yang kuucap tepat di depan rumah Lara. Sudah lama rasanya aku tidak berkunjung ke tempat dimana aku bisa mengenal Lara lebih jauh. Dan sekarang, aku kembali ke tempat ini. Tentu dengan tujuan untuk menemuinya.
“Wa’alaikumsalam.” Hanya berselang beberapa detik, salamku sudah mendapat jawabannya. “Eh, nak Saka. Ibu kira siapa.”
“Iya, bu. Ibu apa kabarnya? Udah lama Saka engga ketemu Ibu.”
“Alhamdulillah nak, Ibu sehat. Kamu pasti kesini mau cari Lara ya?” Belum sempat aku menyatakan maksud kedatanganku, beliau sudah lebih dulu menebaknya dengan tepat. Lalu, ia mengajakku untuk melanjutkan pembicaraan di ruang tamu.
“Iya, bu. Laranya ada?”
“Kebetulan, siang tadi Lara sudah berangkat ke kosan. Besok ada kuliah pagi katanya. Terus dilanjut sama jadwal ngajarnya sampai siang.” Mendengar Lara sedang tidak ada dirumah membuatku kembali merasakan kekecewaan. Jawaban yang seharusnya kudapati hari ini masih harus tertahan oleh jarak dan waktu.
“Oh yasudah bu kalau gitu. Biar besok Saka temuin Lara aja di kampus.”
“Nak Saka, boleh Ibu tanya sesuatu?” Beliau menatapku lirih. Seperti ada yang sedang dirasa.
“Boleh bu.” Aku menjawabnya singkat.
“Ibu lihat, sejak dua hari yang lalu, Lara lebih banyak diam di kamar. Dan semalam Ibu dengar Lara nangis di kamar kakaknya. Ibu rasa, ini ada hubungannya sama nak Saka. Beberapa kali Lara sebut nama kamu sambil larut sama tangisannya.” Dalam dadaku ombak bergemuruh. Aku terkejut dengan apa yang baru saja kudengar. “Sebenarnya, ada apa ya nak Saka?”
“Saka bingung bu harus jawab apa. Saka juga masih belum paham Lara kenapa. Yang Saka tahu, semalam Lara baru aja mutusin untuk udahan. Dan Saka datang kesini juga mau tanya langsung sama Lara. Alasan apa yang bikin lara mutusin untuk selesai.”
“Jadi, kalian sekarang udah gak sama-sama lagi?”
“Iya bu. Tapi dengan dengan alasan yang masih belum pasti.”
“Yasudah nak. Ibu engga akan ikut campur sama hubungan kalian. Tapi, Ibu titip pesan sama nak Saka. Kalau semisal kalian masih terus lanjut, Ibu titip Lara ya nak. Tolong jaga dia sebaik mungkin. Sejauh ini, nak Saka gak pernah ngecewain Ibu, apalagi Lara. Tapi, kalaupun memang kalian harus selesai, Ibu harap kalian masih bisa ngejaga silahturahmi ya.” Diriku dibuat bergetar. Sosok Ibu yang sedang berada di hadapanku saat ini, persis seperti malaikat kecil yang kupunya di rumah. Selalu penuh ketenangan dan kedamaian setiap kali memberikan nasihat. Aku bersyukur Ibu dari Lara selalu menerimaku dengan baik, tanpa pengecualian.
“Saka janji sama Ibu. Saka akan selalu jagain Lara, sebagai apapun Saka di hidupnya nanti.”
Percakapan singkat ini ditutup oleh senyum yang saling meneduhkan. Yang mungkin tidak akan pernah lagi kudapati di waktu-waktu selanjutnya.
Perpisahan memang akan selalu terjadi. Ia akan datang jika waktunya sudah tiba. Bahagia yang selama ini dirasa pun akan ikut berpulang. Digantikan oleh sisa-sisa memori yang berisikan luka dan duka. Semua hal yang kita miliki saat ini hanyalah sebuah titipan. Yang perlu kita sadari adalah bagaimana mensyukuri dan memaknai setiap pertemuan. Memberi kuasa pada penerimaan sebagai sebuah keharusan.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, kapan sesuatu itu akan terjadi. Kita tidak bisa menerka-nerka semua yang hadirnya masih samar. Yang bisa kita lakukan adalah mulai bersiap untuk menerima segala ketetapan-Nya. Yang hidup pasti akan mati. Yang datang kelak akan pergi. Kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun. Manusia hanya bisa berencana, berdoa dan berusaha. Selebihnya, hanya Tuhan Yang Maha Tahu perihal garis takdir kita akan seperti apa.
~
Aku sampai di Jakarta sekitar pukul 11. Tepat di depan sebuah bangunan kecil tempat Lara bekerja. Sudah hampir satu tahun ia dipercaya menjadi pengajar di sebuah lembaga yang letaknya tidak jauh dari kampus. Satu hal yang memang ia senangi selepas menyelesaikan perkuliahan. Terlebih ia mendapati kelas anak-anak yang selalu membuatnya bersemangat.
Langkah kaki mulai kuarahkan menuju pintu masuk. Terlihat hanya ada beberapa orang tua yang sedang menunggu anaknya selesai belajar. Serta seorang resepsionis yang sering kujumpai setiap kali aku mengantar Lara.
“Mas, mbak Lara udah selesai ngajar belum ya?”
“Mbak Lara…” Ia kemudian melihat ke arah layar komputer. Membuka dokumen yang berisikan jadwal mengajar. “…Mbak Lara masih ngajar mas. Baru selesai jam 12.”
“Oh yaudah kalau gitu. Saya tunggu aja sampai mbak Lara selesai ngajar.”
“Oh ya boleh silahkan mas.”
Aku memberikan senyum sebagai tanda terima kasih.
Jam masih menunjukkan pukul 11.15. Masih tersisa waktu yang cukup lama untuk aku menunggunya selesai mengajar. Tapi tak apa, setidaknya hari ini aku bisa menemui dan berbicara langsung dengannya. Aku harus menyelesaikan semuanya. Sudah cukup rasanya aku menyakiti diri sendiri bahkan membohongi nurani.
Kunyalakan ponsel dan mulai menikmati alunan lagu yang kudengar lewat sepasang headset. Mengusir rasa bosan yang mungkin saja singgah. Membunuh setiap detik waktu yang sedang memburu. Setiap bait lagu yang kudengar selalu terselip makna yang mendalam. Pesan-pesan di dalamnya selalu bisa tersampaikan dengan baik. Mulutku tidak henti-hentinya mengucap lirik demi lirik pada setiap lagu.
♫♫♫
Ingatkah kau saat itu?
Kau tersenyum kepadaku
Berbekal senyuman itu
Kujalani hidup
Hingga akhirnya aku mematung sejenak pada salah satu lirik dari lagu The Rain – Hingga Detik Ini. Lirik tersebut mengingatkanku pada masa dimana senyuman Lara selalu mampu memberikan ketenangan. Setiap masalah yang kucurahkan padanya selalu kalah oleh manis senyuman yang melengkung sempurna di wajahnya. Tidak ada keraguan lagi bahwa Lara memang masih menjadi satu-satunya yang paling mengerti aku. Mungkin, ia masih akan tetap jadi yang terbaik sampai kapanpun.
KRINGGG!!! KRINGGG!!!
Bunyi bel menandakan bahwa pembelajaran siang itu sudah selesai. Para orang tua yang sedari tadi menunggu sudah bersiap menyambut anak-anak mereka. Kebanyakan adalah para ibu yang rela menyisihkan sebagian besar waktunya untuk menemani sang anak belajar. Satu persatu siswa mulai keluar dari kelasnya masing-masing. Diikuti oleh para guru yang baru akan keluar setelah tidak ada lagi siswa di dalam kelas.
Rasanya, aku sedang turut serta menjadi mereka yang sedang menunggu kehadiran seseorang. Menanti sebuah kedatangan yang selalu bersembunyi di balik sebuah penantian. Mataku tidak terlepas dari lorong-lorong ruang kelas. Mencoba memperhatikan Lara yang belum juga terlihat hadirnya. Ada perasaan yang tidak biasa saat ini. Tubuhku bergetar. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kenapa ini? Apa aku gugup? Kenapa aku harus gugup menyambut seseorang yang selama hampir 1 tahun ini menemaniku?
Akhirnya kudapati wajah Lara yang sedang terkejut saat mata kami saling tatap. Aku memberikan senyuman sebagai tanda sapa padanya. Namun, senyumanku kali ini tidak mendapat balasan seperti biasanya. Ia hanya sedikit mengangguk, lalu perlahan menghampiriku.
“Hai.” Sapaku gugup. Lara hanya tersenyum. Dadaku masih berdegup kencang. “Kamu udah makan siang?” Aku bertanya gugup. Dirinya hanya menggelengkan kepala karena memang sudah pasti ia belum sempat untuk makan. Pertanyaan bodoh yang baru saja kuberikan akibat dari rasa gugup.
“Kamu mau ngapain kesini?”
Lara memberikan pertanyaan dengan pembawaan yang sangat dingin. Tidak biasanya Lara bersikap seperti ini. Yang aku tahu, ia hanya akan bersikap dingin saat bertemu dengan orang baru. Apa aku ini sudah kau anggap sebagai orang baru di hidupmu?
Aku masih saja dinaungi oleh perasaan gugup. Pertanyaan Lara membuatku kebingungan harus memulai dari mana. Hal-hal yang ingin aku sampaikan mendadak luput dari ingatan.
“Aku kesini karena aku rindu sama kamu. Aku pingin ngobrol banyak sama kamu, tentang kejadian kemarin, tentang keputusan kamu untuk pergi. Kalau memang aku salah, aku minta maaf. Lara, aku bener-bener minta maaf.”
Lara masih saja terdiam. Ia menatapku sinis, seperti ada amarah yang ingin segera diluapkan.
“Untuk apa kamu minta maaf? Percuma, semuanya udah selesai. Kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi.” Lara terdengar sangat sinis.
“Ra, please! Kita udah sama-sama dewasa. Enggak gini caranya. Aku ga paham kenapa kamu tiba-tiba pergi tanpa ada penjelasan.” Aku memohon. Mencoba memintanya menjelaskan semua ini.
“We are done, Saka.” Lara memperjelas perkataannya dan menatapku dalam.
Ada yang baru saja menancap di dadaku. Rasa gugup yang sedari tadi kurasa menjelma menjadi rasa sakit mendengar perkataannya. Aku merasa sangat terluka, tanpa tahu pasti penyebabnya.
“Maksudnya apa sih? Apa ini ulah kakakmu? Apa ini semua karena ketidaksukaannya padaku?” Aku sedikit meninggikan suara. Emosiku sudah tidak bisa terkendali lagi. Lara terdiam dan hanya menatapku. Sebelum akhirnya memalingkan wajahnya. Mencoba menyembunyikan air mata yang tengah menanti untuk jatuh di pelupuk matanya.
“Kamu ga akan ngerti sama semuanya, ka.”
“Tell me, ra. Gimana aku mau ngerti kalo kamu ga ngasih penjelasan sama sekali. Aku ini manusia, ra. Aku juga punya perasaan.”
“Apa kamu bilang? Kamu punya perasaan? Lalu, dimana letak perasaan kamu waktu aku lagi berjuang pertahanin hubungan kita? Dimana?” Lara sudah tidak bisa lagi membendung tangis yang sedari tadi coba ia tahan.
“Ra…”
“Dimana kamu waktu aku lagi berdebat sama kakak. Memang, kakakku gak pernah suka sama kamu. Dia gak suka sama hubungan kita. Tapi, aku berusaha sekuat yang aku bisa untuk pertahanin hubungan ini. Aku sampe ribut sama dia. Jujur, aku kecewa sama kamu. Aku kecewa sama janji kamu waktu itu. Kamu bilang, kamu gak akan pergi dan ninggalin aku berjuang sendirian. Tapi, nyatanya kamu hilang tanpa satupun kabar. Ga ada ketenangan yang bisa aku dapetin dari sosok kamu yang selama ini aku harapkan. Dan, sekarang apa yang aku dapet? Aku cuma dapet omong kosong dari seorang pengecut kayak kamu. Aku rasa ini keputusan yang tepat.”
Cerita Lara membuatku kehabisan akal untuk berkata-kata. Ternyata, Lara sudah berjuang untuk mempertahankan hubungan ini sekuat tenaga. Ia coba memberikan pembelaan atas aku yang hanya bisa diam tanpa memberikan satu pun tindakan. Aku masih menatapnya penuh kekhawatiran. Kerapuhan begitu terpancar dari air matanya yang membasahi pipi.
Lara merasa terluka. Ia sangat kecewa atas kegagalanku memahaminya. Namun, aku masih saja belum bisa menerima keputusan ini. Aku berusaha meyakinkannya untuk tidak segera mengakhiri hubungan ini.
“Kasih aku kesempatan untuk ngejelasin semuanya, ra” Aku kembali memohon padanya. Permohonan yang tidak pernah aku lakukan pada siapapun.
“Cukup, ka. Udah ga ada lagi yang perlu dijelasin. Semuanya udah selesai sampai disini. We are done!!!” Lara kemudian beranjak dari kursi, sambil menyeka air mata yang masih menggelayut di pipi.
“Ra, wait. Kasih aku kesempatan sekali lagi ya.”
Aku mencoba meyakinkan Lara. Jika ia masih memberiku kesempatan, maka akan kujelaskan semuanya. Jika tidak, aku harus menerima semuanya. Meski secara terpaksa.
Lara menghela nafas dalam sebelum akhirnya memberikan pernyataan. “Aku rasa, semuanya udah jelas. Aku ga perlu lagi dengerin penjelasan kamu. Aku mau pulang.”
Aku menahan tangannya. Kami saling tatap beberapa saat. Tatapan yang jelas-jelas berisikan luka. Lara menepis tanganku yang sedari tadi menahannya. Lalu, berbalik menuju pintu keluar.
“Aku antar pulang.”
“Gak usah. Aku bisa sendiri.”
“Lara, one last ride.” Lara hanya mengangguk, mengiyakan ajakanku tanpa sepatah kata terucap.
Aku segera menuju area parkir. Tatapanku masih kosong. Aku masih belum mempercayai apa yang barusan terjadi. Apa yang baru saja aku alami. Rasanya, masih seperti diburu oleh mimpi buruk mendapati kenyataan bahwa Lara benar-benar ingin mengakhiri hubungan ini.
Setibanya di tempat kos, aku meminta sedikit waktu pada Lara. “Ra, sebelum kita benar-benar selesai. Sebelum aku pamit, boleh aku minta sesuatu dari kamu?” Lara kemudian menatapku.
“Apa?”
“Tiga hari yang lalu, tepat setelah kita pulang dari Chemistree, ayah kecelakaan. Tangan sebelah kanannya patah dan harus dioperasi. Itu alasan aku ga ada kabar sama sekali. Doain ya supaya ayah bisa cepet sembuh.” Kedua mata kami saling bersitatap. Sepotong senyum kuberikan sebagai penutup dari rangkaian peristiwa hari ini. Semoga Lara, masih bisa menjadi Lara yang seutuhnya.
“Udah itu aja. Aku pamit ya. Assalammualaikum.”
Kamu adalah rasa, yang aku suarakan dalam aksara.
Kamu adalah puisi, pada bait yang saling mengisi.
Teruntuk Lara, yang dulu pernah ada aku di dalamnya.
Kita pernah menjadi sepasang suka.
Kita pernah mengukir potongan duka.
Pada sepi yang tak lagi sunyi.
Pada diri yang tak lagi berpenghuni.
Hadirmu telah banyak mencipta kenangan.
Semesta tak lagi utuh menyampaikan pesan.
Yang membuat kita percaya pada rasa.
Yang membuat kita kembali terbiasa, diatas penerimaan, bukan pilihan.
Memilikimu, telah mencipta banyak penerimaan.
Kehilangan, telah memberi ruang pada pemahaman.
Terima kasih, telah membiarkanku tetap memiliki.
Sebagai apapun kamu di hidupku.
Sebagai apapun aku di kelopak matamu.